Minggu, 14 Desember 2014

Berkat

Saya berada di rumah setelah minggu-minggu yang berat dan penuh dengan tugas. Kali ini saya bisa lebih menikmati waktu di rumah, tidak seperti sebelumnya yang masih membawa embel-embel tugas. Pun demikian, saya masih mempunyai tanggungan tugas, namun itu tidak terasa begitu membebani; mungkin akibat pandangan sebelah mata pada mata kuliahnya, atau akibat setelah menyelesaikan tugas-tugas berat sehingga yang masih belum selesai jadi terlihat tidak penting. Haha, anyway saya bisa memanfaatkan kesempatan ini dengan baik dan di pagi ini, ada doa lingkungan yang kebetulan gilirannya rumah kami sebagai tempat. 
Saya mengunggah satu bagian* dari serangkaian kegiatan pagi tadi di BBM (foto makanan) dan banyak teman yang merespon. Ada yang bilang "Uenaknya", "Jadi pengen," dan pertanyaan biasa seperti "Ndek rumah ada doa to Sep?". Dari semuanya, ada satu yang berkesan, yakni dari salah satu teman saya di Malang. Begini, katanya, "Oh gitu haha enak ya pas kamu pulang pas ketepak an giliran di rumahmu hihihi how blessed you are..". Kata-kata teman ini mengingatkan saya pada hal yang sama, yang juga dikatakan nenek. "Dapat berkat lagi, Sep. Pas kamu pulang selalu ada selamatan, entah dari rumah sini sendiri atau tetangga; selalu penuh berkah pas kamu pulang, le," demikian kalau saya rangkum dan terjemahkan ke bahasa Indonesia, haha. Benarkah demikian? Saya dengan senang hati bersyukur bila memang demikian. 
Berkat; ini adalah istilah jawa di daerah saya untuk makanan dari suatu selamatan atau syukuran. Saat saya pulang ke rumah dari Malang, rumah kami selalu mendapat berkat. Saat saya pulang, selalu ada berkah, demikian katanya.

*setiap sehabis ibadah ada acara makan-makan

Minggu, 30 November 2014

Bapak Darto yang Terberkati

Menghadiri misa di Sabtu sore yang mendung namun tidak hujan sedikit terasa berbeda untuk saya, sebab sudah dua miggu saya tidak ke gereja. Dan kali ini, saya menghadiri misa di kota saya ini. Selalu ada kerinduan besar akan gereja tua itu, meskipun para imam datang dan pergi dan sedikit yang saya kenal sekarang, namun jemaatnya tetap; saya mengenal mereka.
Seperti biasa, tempat duduk di belakang menjadi favorit. Nah, disini saya bertemu pak Darto, guru matematika waktu saya kelas tiga SMA. Beliau sudah sangat sepuh, namun wajah cerianya tak pernah pergi. Saya sedikit heran karena biasanya beliau duduk di depan, dan ketika saya bertanya mengapa kok tumben duduk di belakang, beliau menjawab sambil tersenyum, "kalau dulu saya sama istri saya, sekarang sendiri." Istri pak Darto meninggal pada 30 Oktober yang lalu. Setelah mengetahui hal ini, saya merasa tidak enak dan bingung harus mengobrol tentang apa lagi, namun beliau dengan wajah sumringah-nya tetap mengajak saya bicara tentang hal lain yang menyenangkan. Di akhir misa, pak Darto berdoa singkat, lalu setelah itu berpamitan pulang duluan sambil mengucapkan "semoga sukses" kepada saya.

Perjumpaan dengan pak Darto membuat saya terharu. Kini beliau sudah tua dan sendiri, namun tetap menghadiri misa dan bersikap ceria dan ramah. Kini beliau duduk di bangku belakang, bangku pilihan bagi (agak) banyak kaum pria yang ke gereja tidak bersama istri, atau pacar dan bagi mereka yang masih lajang, bangku pilihan untuk menyaksikan lebih luas perayaan rahmat Tuhan.
Kini saya berdoa agar pak Darto selalu sehat dan agar beliau tidak kesepian. Untuk semua kebaikan yang beliau telah berikan, semoga rahmat kedamaian menyertai sehingga kepenuhan hidup menjadi milik beliau.
Amin.

Sedikit Berbahagia

Disamping terharu dan berdukacita, saya juga sedikit berbahagia karena seseorang. Di akhir-akhir ibadah, seraut wajah dari bangku kiri gereja merebut perhatian saya. Diantara wajah-wajah lainnya, ia yang paling bersinar. Putih, lembut, dengan laku gemulai ia menebarkan keanggunannya. Seperti Arwen, putri elf dalam trilogi The Lord of The Rings; ia bagaikan bidadari, yang kecantikannya tidak bisa dibandingkan dengan wajah-wajah lain. Saya merasa seperti memandang salah satu keajaiban dunia di eropa. Begitu kagum dan terpesona, seperti mengeluarkan nafas panjang setelah menariknya dalam-dalam. 
Di akhir misa, saya mencoba mencari wajahnya diantara keramaian, dan tak menemukannya. Namun, ketika sudah di jalan raya mengendarai motor, saya melihatnya berjalan bersama seorang temannya di trotoar. Saya menolehkan wajah kearahnya, dengan pikiran ia akan melihat saya balik dan mengingat saya lagi apabila di lain waktu saya ke gereja itu mengenakan jaket jeans yang sama. Pemikiran yang konyol, muingkin. Namun siapa yang tahu kalau ia masih belum berpacaran dan ada kesempatan untuk saya? Saya akan mencoba.

Demikian indah dan aggun seraut wajah itu, membangunkan hati saya yang sudah lama kosong tidak memikirkan siapa-siapa. Saya ingin melihatnya lagi, mungkin minggu depan ia duduk di bangku yang sama, mungkin pandangan kami bisa bertemu satu sama lain.   

Sedikit Mengeluh

Tugas-tugas di akhir semester membuat saya gelisah. Di sore hari yang indah ketika nenek dan kakek saya tengah bersantai dan menikmati sejuknya pemandangan setelah hujan, saya sibuk sendiri mengerjakan tugas. Seharusnya saya bergabung dengan mereka, namun jika saya tinggalkan proses merangkai ide menjadi tulisan, akan sulit untuk melanjutkan lagi. Jadi saya terus berkonsentrasi sambil sesekali ikut obrolan mereka. Tidak mudah memang; ketika sedang sibuk dengan urusan kuliah namun berada di dekat orang-orang tercinta dan ingin terus bercengkrama dengan mereka.

Rabu, 26 November 2014

Tugas Akhir

Memasuki masa akhir semester lima, tugas-tugas akhir lumayan banyak. Saya kadang bingung bagaimana membagi waktu untuk semuanya itu. Namun kali ini saya tak begitu banyak ambil pusing dan mencoba mengerjakannya satu persatu seperti mengerjakan tugas biasa, tanpa tekanan besar. 
Di ujung semester, pentas drama menanti, kemudian di depannya lagi ada liburan natal. Tak ada ekspetasi besar untuk liburan natal kali ini sebab sesuatu hal yang baik dan tidak diharapkan, tetapi justru terjadi, akan menjadi kejutan dan kebahagiaan tersendiri. Ohya, namun sayang sekali libur kali ini menjadi lebih pendek. Tidak tahu mengapa pihak universitas menjadikan libur setelah tahun baru menjadi lebih pendek, yakni cuma sampai tanggal 4. Kecewa pasti, namun saya tak begitu memusingkan hal itu, toh di tahun-tahun sebelumnya saya sudah menikmati enaknya menikmati libur semester UM. Selain itu, sudah sebentar lagi lulus. Oh my God! Ini yang saya khawatirkan: perpisahan. Kawan tahu sendiri, saya tidak suka perpisahan, seperti kebanyakan orang. 


Hm. Disini saya terhenti. Rasanya tidak enak berbicara jauh tentang hal itu. Baiklah sampai disini.
Salam!

Minggu, 09 November 2014

Malang dan Hujan

Malang dan hujan menyimpan banyak kenangan pada tahun-tahun yang silam. Ketika kemarau mengusir penghujan, kehidupan di kota menjadi terasa lebih padat dan ramai. Jalanan berdebu dan kering, namun matahari selalu bersinar sepanjang hari dan menjanjikan kehangatan yang berlimpah ruah. Kini, musim penghujan telah kembali. Pada masa-masa yang sudah berlalu, pengalaman saya tentang hujan kebanyakan tidak menyenangkan dan apes. Mungkin karena tempat tinggal saya yang jauh dari perkotaan sehingga sering kehujanan ketika pulang dan pergi dari/ke tempat beraktivitas. Mungkin juga karena saya sendiri tidak memaknai hujan itu sendiri sebagai sesuatu untuk disyukuri. Sekarang, berhubung saya sudah dekat dengan pusat kegiatan sehari-hari, mungkin di musim penghujan kali ini ada banyak hal berkesan untuk disyukuri. Mungkin juga, musim kali ini saya semakin mencintai hujan, seperti selayaknya orang-orang yang selalu bersyukur. Bagaimanapun, pengalaman pertama melihat hujan di kota Malang ini, tepatnya pada Jum'at yang lalu, adalah pengalaman yang berkesan karena saat itu saya berkumpul bersama teman-teman dan itu menyenangkan.
Hujan, hujan; puji Tuhan, sudah hujan!

Rabu, 05 November 2014

Keinginan Tercapai, Bukan Main

Keinginan ke Bromo sudah tercapai. Betapa senang menyadari saya berada di tempat saya lagi dan telah melewati berbagai medan sulit di alam serta melihat pemandangan-pemandangan yang menakjubkan. Senang bukan main mengalami petualangan yang menantang dan mengasyikkan seperti itu. 
Senang, itu intinya. Satu hal yang dapat dipetik dari hal ini ialah soal keinginan itu sendiri. Mewujudkan keinginan ialah salah satu hal yang paling indah di dunia ini. 
Ya, begitulah. Mungkin anda setuju.
Cheers!

Sabtu, 01 November 2014

Short Break Bromo

Hari yang panjang. Badan terasa lelah sekali setelah seharian berpetualang. Ya, ini adalah sebuah petualangan. Karena medan yang sulit, hal-hal baru, dan pemandangan-pemandangan alam yang menakjubkan, kami menyebutnya petualangan.

Teman-teman berkumpul di kost saya karena menghindari gagal bangun karena alarm dan supaya bisa berangkat bersama. Kami berusaha memanfaatkan waktu yang sedikit untuk istirahat, namun beberapa harus terjaga terus karena tidak bisa tidur. Mendekati pukul dua, kami bersiap-siap dan berangkat menuju tempat berkumpul di dekat monumen patung pesawat, Soekarno-Hatta Malang. Setelah semua siap kami berangkat. Jalanan kota tampak sepi sekali, kecuali pasar Blimbing yang sudah ramai dengan pedagang-pedagang. Jalan kami masih mulus, belum ada tantangan samasekali sebelum memasuki area pedesaan dan pedalaman. Berkelok, kelok dan menanjak, serta curam; kami beberapakali mengalami kesulitan karena tingkat kemiringan yang ekstrim. Namun, yang terdepan selalu menunggu yang jauh di belakang agar tidak terpencar. Ohya, selain ekstrim, udaranya sangat sangat dingin sekali. Apes sekali bagi beberapa dari kami yang menjadi pengendara dan tidak memakai sarung tangan. Dalam hal ini saya sedikit mendapat bantuan dari selembar halaman Jawapos yang saya jadikan windbreaker, menutupi perut dan mencegah masuk angin. 
Sementara jalan terasa semakin menanjak, udara semakin terasa dingin. Berat, namun kami tetap semangat, dan semangat ini muncul dari sebuah pemandangan menakjubkan di atas langit. Dibawah naungan pohon-pohon, bintang-bintang di langit tampak begitu indah dan gemerlapan. "Rasanya seperti dekat sekali dengan Sang Pencipta," salah satu kawan berseru. Perjalanan semakin menantang, udara dingin semakin menyengat ke dalam, dan rombongan kami semakin bergembira untuk  segera menyambut fajar di Bromo. 
Sesampainya di daerah tengger, ada banyak hal unik, seperti orang-orang memakai selendang atau sarung dan berjalan menggendong keranjang, orang berkuda, dan wajah-wajah ramah penduduk lokal yang seolah tak terganggu dengan suara bising mesin motor kami. 
Setelah masuk pintu gerbang, jalan kami menjadi semakin sulit karena ini weekend dan banyak sekali orang di atas untuk melihat matahari terbit. Ada banyak sekali orang, baik bule, mahasiswa seperti kami, dan wisatawan lokal, sementara jalannya sempit dan ada banyak jeep diparkir di sepanjang jalan. Sulit dan berbahaya, pun demikian kami sampai di lokasi paling baik untuk menyaksikan Sunrise. Seperti orang pada umumnya, kami berfoto-foto hingga puas. 

Luas dan menakjubkan, bukan?
Amatir, hasil kamera ponsel
Dari kamera teman.

Terimakasih, kawan! Sayang sekali fotografer tidak ikutan.

Perjalanan Pulang
Kami pulang lewat Tumpang, sehingga harus melintasi lautan pasir dan mengelilingi dua gunung.  Di tempat itu, tantangan sebenarnya menanti. Pasir yang tebal membuat motor kami berulangkali hampir jatuh. Agak sulit bagi kami untuk menentukan arah, karena kendaraan-kendaraan yang menjadi patokan melaju sangat kencang sehingga tak terkejar. Untunglah tadi teknologi menolong kami. GPS dari tablet kawan kami menuntun perjalanan melewati hamparan pasir luas yang seperti tak berujung, melewati seorang pedagang minuman di tengah panasnya “gurun pasir” itu, melewati padang rumput kering yang hangus terbakar, melewati lembah hijau, hingga tanjakan-tanjakan curam dan berpasir. Pasir, badai pasir, dan tanjakan bepasir
, demikianlah tadi kami kesulitan. “Duh, aku kangen jalan beraspal, sep,” keluh seorang kawan  tadi. Sungguh berat memang, namun tadi juga ada keramahan-keramahan yang memberi semangat. Para pengendara kuda yang kami temui sepanjang jalan membalas sapaan kami dengan ramah, dan sesekali juga beberapa dari mereka menyapa lebih dulu. Mereka seperti menyertai jalan kami, hingga ke tanjakan akhir yang katanya adalah yang terberat. Dan.. sampailah kami di pos istirahat. Setelah menghabiskan beberapa menit di pos itu, kami pulang. Perjalanan pulang melewati jalan beraspal juga tak kalah menantang. Kami melawan rasa ngantuk dan terus berkonsentrasi sepanjang jalan.
Bentang alam menakjubkan, Indonesia!
Pada akhirnya, kami sampai. Beberapa kawan langsung menuju tempat mereka masing-masing, sementara dua kawan beristirahat di kost saya. Demikianlah; hari ini hari yang panjang, pun sangat menyenangkan. Saya tidak akan menolak untuk melakukan petualangan lainnya bersama kawan-kawan ini.




Harus berhati-hati ketika melepas helm atau masker karena
badai pasir datang tiba-tiba.

Luas membentang, indah pemandangan!
Dua kawan sedang bersusah payah melewati
hamparan pasir tebal yang sulit dilalui kendaraan bermotor.
Tampak pemandangan orang sedang mengendarai kuda di kejauhan.
Bagi mereka, lautan pasir tak menyulitkan samasekali, dan justru
dengan berkendara seperti itu mereka terlihat sangat menikmati,
meng-iming-imigi saya untuk naik kuda.













Sementara dua kawan lain
yang naik V-xion
tak terlalu susah melewati
medan yang
(kalau bahasa jawa
istilahnya) bledu.






Setengah perjalanan. Berapa lama
lagi? Tak tahu, yang jelas kita
harus memutari gunung-gunung.
Pengalaman pertama motor ini melewati medan berat adalah ketika menuju
lembah gunung Kelud. Namun saat itu yang dilewati adalah sungai dan
bebatuan. Kini, si motor harus melewati lautan pasir luas;
berulangkali terseok-seok, namun teman saya mulai terbiasa dengan medan
dan berkendara seperti orang-orang lokal. *Mereka melaju cepat sekali
sehingga tidak akan terseok-seok dan keseimbangannya terjaga.























Ohya, setelah meninggalkan Bromo, ada dua hal (pertanyaan) yang masih membuat saya heran dan bertanya-tanya. Pertama, saya heran dengan wanita yang berjualan di tengah padang pasir itu. Lho, bagaimana ya dia membawa barang-barang dagangannya? Apa diantar dan dijemput dengan sepeda motor atau jeep? Atau, apakah kalau sudah petang ia tinggalkan warung kecilnya itu dan pulang ke rumah? Ada banyak kemungkinan, saya tidak tahu. 
Yang kedua adalah bapak tukang bakso. Nahh.. ini nih. Darimana bapak ini berasal dan bagaimana bisa ia melewati medan berat yang kami lalui setelah berpapasan dengannya. Jalannya curam dan berpasir. Ini sulit sekali bahkan bagi motor yang tidak bermuatan selain pengendara sendiri. Kalau memang benar si tukang bakso melewati medan itu, wahh... sumpah itu keren banget! Namun, bagaimana nasib bakso dan mangkoknya? Haha, saya tidak tahu bagaimana, yang jelas akan nikmat sekali makan bakso setelah lelah melewati lautan pasir itu.

Tulisan saya kali ini mungkin ada banyak kesalahan dan minimnya variasi bahasa. Maklum, ya… karena saya sendiri sangat capek dan kurang berkonsentrasi juga karena ngantuk. Baik, sekian. Gracias multas! Terimakasih!
Salam!

Selasa, 28 Oktober 2014

Tentang Perhatian Sederhana

Hal sederhana yang seseorang lakukan untuk seorang lain kadangkala justru merupakan sesuatu yang luar biasa. Ini seperti apa yang dialami teman saya, sebut saja Ce. Ia berulangtahun beberapa hari yang lalu dan pada malam sebelum hari itu tiba, lebih tepatnya tengah malam pada saat pergantian hari, seorang kawan mengiriminya semacam voice note nyanyian "Happy Birthday". Tanpa iringan musik dan hal-hal meriah lainnya, ia menyanyikan lagu itu pelan dengan suara khasnya yang biasanya membuat teman-temannya gemas (karena seperti suara anak kecil, katanya).
"Happy birthday to you..
Happy birthday to you..
Happy birthday..happy birthday,
Happy birth....day..to..you..!"

Tampak sederhana apabila anda mendengar sendiri voice note itu. Namun, di dalamnya terpancar perhatian tulus seorang teman dekat kepada kawannya yang berulangtahun. Si Ce yang berulangtahun sangat bersukacita karenanya dan katanya (tadi siang) ia sempat menangis terharu saat mendapati kawan itu menjadi yang pertama yang memberi ucapan ulangtahun seindah itu selama hidupnya. Ohya, bukan hanya Ce saja namun juga beberapa teman perempuan lainnya menjadi terharu karena ucapan itu. Hebat! Saya beri jempol untuk yang menyanyikan ucapan "Happy Birthday" itu. 

Bagi saya sendiri, ini sesuatu yang menarik untuk menjadi contoh nyata tentang pesan yang hendak saya sampaikan, yakni tentang hal-hal kecil yang kita lakukan untuk orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kita tidak menyadari bahwa hal-hal kecil dan sederhana yang biasa kita lakukan dapat mengubah seseorang, atau beberapa orang, atau bahkan banyak orang.
Ini seperti pengalaman saya sendiri; suatu hari saya sedang bersusah hati dan berkendara menuju tempat tinggal dengan raut muka sedih. Namun, di tengah jalan saya bertemu dengan beberapa kawan yang menyapa dengan senyum dan lambaian tangan yang ramah. Seketika itu juga, setelah membalas sapaan itu dengan senyuman juga, segala duka dan beban pikiran hilang. Lenyap. 
Nahh... tidak jarang lho hal-hal seperti ini saya alami. Such a simple thing, but a great encouragement. Mungkin anda juga mengalami hal yang sama, atau serupa tapi dalam pengalaman yang berbeda. Inilah. Hal-hal seperti inilah yang setiap orang mungkin perlu pahami, agar bersyukur atas dirinya dan lebih giat menjadi agen penabur keramahan.

Make the world a better place for you and me, with kindnessess!
Salam!

Rutinitas

Seringkali pada akhir dari akhir pekan (Minggu sore) pikiran langsung tertuju pada tugas-tugas untuk hari Senin. Kebanyakan teman mungkin juga demikian. Salah satu kawan di jejaring sosial menulis status sebagai berikut "kegiatan rutin tiap minggu malem," disertai dengan stiker orang stress dihadapan komputer dan tumpukan tugas, yang menunjukkan betapa lelahnya ia menjalani rutinitas di pertengahan semester ganjil ini. Saya juga demikian. 
Entah tugas itu berat atau ringan, rasanya tidak enak sekali berpisah dengan akhir pekan. Ketika kesibukan kuliah menyita waktu, tak ada kesempatan untuk saya mengunjungi ibu. Tidak ada waktu pula untuk aktualisasi diri. Seringkali saya mengeluhkan hal ini; ketika digempur tugas, tak ada waktu untuk berkarya dan belajar sesuatu yang lain, dan ketika tiba waktunya seluruh tanggungjawab dilaksanakan, rasanya tak ada tenaga tersisa untuk melakukan yang lain. Hanya ingin istirahat saja hingga pikran segar kembali dan tenaga pulih untuk gelombang kesibukan berikutnya. Demikianlah siklusnya. Entah hanya karena perasaan, atau memang keadaan, atau hanya mentalitas saya dan kurangnya kreatifitas, atau juga karena sedang tidak dalam mode bijak, segala rutinitas terasa sangat membosankan. 
Bagaimana ya? Saya mungkin perlu lebih kreatif lagi berada dalam situasi semester ini, yang konon katanya adalah puncak-puncaknya mahasiswa merasa sumpek. 
Untuk kawan yang mungkin juga sedang sumpek sekarang ini, semoga cepat menemui solusi agar tidak lama terjebak dalam situasi yang tidak nyaman.
Salam!

Sabtu, 11 Oktober 2014

Menjadi Bijak?

Kata Confucius, orang bijaksana tidak pernah bersedih. Saya setuju dengan perkataan ini, karena kadang-kadang merasakan kebijaksanaan tinggal dalam diri. Ketika sedang dalam mode bijaksana, tak ada satupun hal yang mengganggu. Meskipun penghuni kost sebelah saya sedang asyik membuat kebisingan dengan lagu-lagu yang biasanya mengganggu pendengaran, saya diam dalam ketenangan. Tak ada satu hal yang terpikir kecuali keutamaan. Suatu hal yang utama selalu menjadikan hati dan pikiran tenang. Lantas apa hal utama itu? Bagi saya, kadangkala itu adalah rasa cinta kepada keluarga. Kadangkala itu adalah rasa percaya pada Tuhan dan segala kehendak-Nya yang harus saya laksanakan demi kepenuhan hidup, seperti sebuah pepatah bahasa Latin yang kira-kira bunyinya begini; "Carilah keutamaan-keutamaan dalam hidup agar mendapat suatu kepenuhan berlimpah."
Nah ini! Nikmat sekali apabila kepala saya bisa senantiasa berpikir tentang keutamaan-keutamaan, bukannya tugas-tugas kuliah dan dosen yang galak melulu, bukan pula kebisingan penghuni sebelah yang tidak penting. 

Kesibukan Akhir-akhir Ini

Kesibukan saya sekarang ini adalah latihan drama. Kuliah hampir setiap harinya selesai jam enam sore. Kegiatan selanjutnya ialah latihan drama. Latihan ini berlangsung kurang lebih tiga jam. Biasanya pukul 21.00 saya dan yang lain baru bisa pulang meninggalkan kampus. Rutinitas ini berlangsung empat kali dalam seminggu atau sampai Kamis, sedangkan latihan drama itu sendiri sampai dengan hari Jum'at (hari Jum'at jam 12.30 kami mulai latihan hingga kira-kira jam 16.00). Saya sudah mulai terbiasa dengan jadwal ini dan akan menjalani semuanya selama satu semester penuh. Demikianlah tantangan untuk kira-kira empat bulan dimulai dari bulan September hingga bulan Desember yang akan datang. 

Senin, 22 September 2014

Puji Tuhan

Syukurlah pada malam hari ini saya bebas dan lepas tanpa perlu khawatir akan tugas. Suasana yang amat langka ini saya manfaatkan dengan baik. Malam ini saya mencari beberapa bacaan di internet dan setelah itu akan melakukan beberapa refreshment, bermain Sleeping Dog mungkin. Begitu indahnya...hidup...tanpa suatu tanggungjawab yang formal.

Rabu, 17 September 2014

Orang Bodoh dan Padang Rumput Saya

Tidur dalam mimpi yang indah. Saya berada di padang rumput hijau nan tenang. Hanya kicau burung, hembusan angin, dan suara percikan air sungai yang terdengar. Di sungai itu saya menceburkan diri dan merasakan air segar membasuh kaki, sambil memandang ikan-ikan dengan beragam warna dan menengadah ke langit biru yang luas dan dihiasi awan putih berarak dan siluet-siluet hitam yang berterbangan. Sejauh mata memandang, padang itu tampak hijau seluruhnya, tak berujung. Tak ada manusia lain, hanya saya dan kehidupan alam yang harmonis. Mimpi yang indah. Keheningan sejati! Namun, sayang sekali hal indah ini hanyalah sebuah permulaan dari mimpi buruk. Selang beberapa saat setelah suasana sepi itu, terdengar suara ledakan besar dari jauh diiringi oleh api yang menyulut keluar dari horison. Dari jauh tampak siluet kecil burung-burung terbang menjauh, menuju arah saya seolah memberitahu bahwa tempat itu sudah tak aman lagi. Saya heran dan mencoba mencermati kegaduhan tersebut, karena terjadi ledakan-ledakan lainnya yang semakin lama semakin dekat dan terdengar lebih keras. Tak ada satupun hal yang terlihat sebagai pelaku kegaduhan itu, sementara binatang-binatang sudah pergi menjauh meninggalkan padang rumput. Tak ada siapapun, sedangkan suara itu semakin terasa dekat. 
Saya terbangun dan sadar bahwa saya tidak akan pernah menemukan penghasil kegaduhan itu di padang rumput tersebut karena pelakunya tidak ada di dunia mimpi, melainkan dunia nyata, tepatnya di ruang kost sebelah. Diiringi suara-suara tawa yang gaduh dan musik dangdut, metal serta melayu yang mengumpati sang keheningan malam, seseorang terdengar sedang memukul-mukul pintu. Suara itu keras sekali dan sebegitu gaduhnya hingga merusak surga dalam mimpi itu. Orang itu terus memukul pintu dengan palu, tak tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah tindakan orang tak bertoleransi dan tak berperasaan. Lama sekali saya menunggu kapan "pintu yang rusak" itu selesai dibenarkan. Hingga pada akhirnya, "orang bodoh" itu melemparkan palu tepat di bawah tangga yang letaknya di depan kamar saya. "Duakkkk," suara gaduh terakhir dari aktivitas itu meledak tepat di depan saya. 
Tidak ada niat untuk membentak atau memberi peringatan karena kaki saya sedang sakit saat itu, ditambah suara masih serak karena batukSambil mengelus dada, saya mencoba melanjutkan tidur tetapi tidak bisa. Setelah hantaman-hantaman berisik itu, suasana masih belum hening karena mereka terus bercakap dan pemutar musik masih keras berteriak-teriak. 
Akhirnya yang saya lakukan ialah membagi pengalaman ini, sambil menunggu kapan rasa ngantuk datang membantu untuk tidur kembali. Saya juga mencoba melindungi telinga saya dari polusi suara itu dengan memutar musik gregorian dan klasik.
Sejauh ini, bisa dibilang belum ada harmoni dalam kehidupan saya. Dulu ketika masih belum ngekost, saya hidup di tempat yang tenang sekali, namun jauh dari peradaban, suram, dan jauh dari teman-teman. Sekarang saya dekat dengan peradaban dan dekat dengan para sahabat. Sering sekali mereka mengunjungi saya dan ini adalah sesuatu yang sangat baik. Namun, ternyata masih ada satu hal yang janggal disini, yaitu kegaduhan yang tak tahu waktu dan tempat.
Gusar dan jengkel itu pasti. Hidup di tengah-tengah orang bodoh dan bebal, mungkin butuh kecerdikan sendiri untuk mengatasinya, seperti perkataan ini, "Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba di tengah-tengah serigala. Maka, hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati (Mat 10:16)." Mungkin saya hanya perlu sedikit kreatif mendekorasi ruang saya agar anti suara luar atau melakukan cara lain yang sejenis.
Diatas semua itu, saya tidak amat sangat menyesal bahwa harmoni antara keheningan dan keceriaan belum bisa saya wujudkan. Ini semua adalah bagian dari jalan menuju kehidupan gemilang dan harmonis.

Rabu, 17 September 2014 00.50 WIB
Dalam kegaduhan yang memecah Tengah Malam

Minggu, 14 September 2014

Pikiran Tenang

Tiga hari yang mengesankan di rumah telah berlalu. Saya kini berada di kost lagi. Ada sebuah kabar gembira. Hari esok mungkin akan lebih ringan karena absennya seorang dosen galak dan cerewet yang suka memaki mahasiswa-mahasiswinya. Namun diatas semua ini saya bahagia karena telah berkesempatan pulang ke rumah dan merasakan tenangnya suasana hidup. 
Tiga hari saya dapat tidur dengan suasana hening, berdoa dalam silentium, dan melakukan aktivitas-aktivitas yang menyegarkan pikiran, tanpa sekalipun teringat akan tugas. Hal ini terasa seperti pembaharuan hidup.
Sore ini saya kembali ke Malang. Ketika mampir di toko alat tulis depan sekolah saya dulu untuk membeli beberapa kertas, saya berjumpa Gabriel Rio Emar, seorang adik kelas dari Kupang yang kini sudah menjadi misionaris dan diutus. Kami mengobrol sebentar, karena ia kelihatan agak terburu-buru. Saya menitipkan salam kepada Alfredo dan Evam, dua adik kelas yang sudah sejak dulu saya beri respect. Syukurlah mereka berdua melanjutkan pembinaan ke jenjang atas dan meneruskan panggilan imamat.
Perjumpaan kecil itu tadi membawa semangat dan rasa bangga di hati, apalagi ketika melihat gedung sekolah dari jauh. Masih seperti dulu. Bangunan tua bergaya arsitektur belanda. Megah. Di dalamnya telah tersimpan kenangan-kenangan di masa pembinaan. Di balik gedung berhiaskan sinar remang-remang matahari senja tersimpan jejak orang-orang hebat dan para sahabat.
Dalam pesona yang sedemikian indah, saya hampir lupa harus kembali ke Malang. Rasanya seperti masih menjadi bagian dari komunitas orang-orang terpanggil itu. Dengan suasana hati yang penuh kegembiraan, saya beranjak pergi. Rio melambaikan tangan selagi berjalan memasuki gerbang Vincentius. Saya membalasnya, dan melaju dengan semangat meninggalkan sore yang indah menuju kota Malang yang siap menanti saya dengan tanggungjawab-tanggungjawab dan tugas.

Jumat, 05 September 2014

Kurangnya Waktu

Semenjak pindah ke kost dan kuliah di semester lima, saya kekurangan waktu untuk menulis refleksi dan posting blog. Disamping koneksi internet yang tidak stabil seperti di tempat semula, jadwal kuliah yang padat dan banyaknya tugas memisahkan saya dari waktu luang yang berharga. 
Rutinitas dan kondisi tidak memberi ruang untuk keheningan. Tempat yang sekarang ramai, karena dekat sekali dengan jalan raya. Hal ini seringkali membuat saya selalu ingin pulang ke kampung halaman untuk mendapatkan keheningan sejati, namun untuk mewujudkan rencana pulang itupun saya harus menunda dua kali dikarenakan tugas dan jadwal kuliah. Bagaimanapun, menunda rindu tidak ada salahnya. Rindu yang tertunda justru menjanjikan kebahagiaan lebih pada waktunya. 

Selasa, 26 Agustus 2014

Hari-hari yang Panjang

Sudah lama sekali absen. Hari-hari yang berlalu memang panjang, apalagi minggu yang lalu. Tugas dari seorang dosen yang sarat akan formalitas dan kecerewetan membuat bingung semua mahasiswanya hingga akhirnya sebagian besar bisa lari dari hari Senin kemarin.
Hari-hari yang panjang, terlena karena liburan, dan berbagai urusan keluarga lainnya adalah yang menyebabkan blog ini kosong dan terabaikan selama beberapa waktu. Hal-hal tersebut juga membuat saya lupa meluangkan waktu untuk membuat refleksi seperti biasanya. Sekarang, karena sudah sadar akan kelalaian ini, mungkin kedepannya saya mulai menulis lagi.

Kamis, 14 Agustus 2014

Wanna Share?

Hari ini hari yang pendek. Saya hanya berdiam diri di rumah dan mengobrol dengan beberapa orang di media. Banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol hari ini karena saya menjumpai seorang kawan lama yang sudah enam tahun tidak ada kabarnya. Namanya Blablabla Intan Blablabla. Kami berdua tidak pernah bertemu ataupun berkomunikasi, namun hari ini kami membicarakan banyak hal. 
Ia dulu memang memiliki suatu relasi unik dengan saya; dulu sekali di masa-masa SMP. Sekarang, ia berada di luar negeri. 
Banyak sekali obrolan tadi dan saya senang bisa sharing-sharing seperti itu. Saya memang suka diajak curhat. Banyak sekali teman, kenalan, ataupun saudara suka bercerita kepada saya, sampai-sampai saya merasa tercipta untuk mendengarkan. Anyway hal itu justru suatu anugerah dan berkah; dan pertemuan hari ini memberi rasa syukur atas teman yang Tuhan sudah perkenalkan kepada saya.

Senin, 04 Agustus 2014

It's A Hummingbird Moth!

Sore hari ini saya duduk di teras rumah bersama nenek. Langit sudah mulai petang. Di sela-sela dedaunan pohon rambutan dan pepaya, saya melihat seekor makhluk kecil terbang dengan lincah dan anggun menghampiri bunga-bunga. "Itu burung kolibri," demikian saya berkata pada nenek. Beliau juga setuju itu burung kolibri, salah satu dari jenisnya yang paling kecil. Kami sendiri pernah berbincang tentang hal ini jauhari, saat pertamakali melihat pemandangan itu. Saya yakin itu adalah kolibri, karena saya melihat suatu hal yang menonjol seperti paruh. Pun demikian, saya juga agak ragu dengan ukurannya yang tak lebih besar dari ibu jari.
Senang sekali rasanya melihat pemandangan unik itu; makhluk itu terbang kesana kemari dengan anggun, menghampiri nektar-nektar segar bunga pepaya. Ada tiga ekor; berterbangan seperti peri; menghiasi senja yang tenang di halaman rumah.

Sekilas memang tampak seperti kolibri. Ternyata, setelah mencari beberapa informasi, makhluk itu adalah ngengat kolibri, seperti yang tertulis pada sebuah blog. Meski awalnya saya senang gara-gara yakin bahwa itu kolibri, akhirnya saya juga tetap senang mendapati makhluk itu adalah ngengat. Ngengat-ngengat itu sama menakjubkannya dengan burung kolibri; mereka juga terbang seperti peri.
Pengalaman ini membuat saya bersyukur atas alam ini; yang merupakan karya-Nya yang agung. Hal besar dan kecil yang diciptakan-Nya sangat indah dan mempesona. Mengagumkan!



Sumber gambar:

1. Kamera
2. Devin's Nature Blog
3. The Life of An Army Wife Abroad

Halo Frater-Frater!

Beberapa hari yang lalu saya dan kawan2 lama SMA reuni kecil-kecilan dan mengunjungi keempat kawan kami yang sedang dalam proses menjadi imam di seminari tinggi Kongregasi Missionis Langsep Malang. Ada banyak kesan gokil namun terlalu banyak sehingga saya kira saya hanya perlu membagi gambarnya. Berikut ini foto-fotonya;
Masih di kontrakan kawan kami, Beni; di Soekarno-Hatta

Di dekat pintu masuk

Kiri atas ke kanan: Carel, Divin, Aldo, Tomy, saya, Lee, Adhi, Ovan, Bertus
Kiri bawah ke kanan; Beny, Dwika, Shandong, Rinto

Minggu, 27 Juli 2014

Selamat Idul Fitri!

Selamat idul fitri!

Pada malam hari ini suasana di rumah sangat meriah. Saat kumandang syukur dari masjid mulai bergema, orang-orang desa keluar rumah dan merayakannya. Anak-anak kecil berlarian di halaman dan di jalan. Musik berirama seperti campursari yang berasal dari dekat masjid ikut melantun memeriahkan suasana. Seperti halnya semua orang, keluarga saya ikut merayakannya dengan gembira. Bersama keluarga paman yang dari Batu, keponakan dari Blitar, dan bibi saya yang dari Bandung, kami menyalakan kembang api. Anak-anak kecil datang mendekat untuk menyaksikan, demikian juga dengan beberapa orangtua. Kembang api kami sangat banyak, jadi hiburannya panjang hingga kami lelah dan menyisakan kembang-kembang api kecil. Setelah selesai, semua orang kembali. Lingkungan kembali sepi, namun suara masjid masih berkumandang. Saya beristirahat diiringi alunan pujian yang tak pernah berhenti.

Ini malam lebaran saya. Selamat lebaran!

Jumat, 25 Juli 2014

Bising!

Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing menggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu


Kesabaran-Chairil Anwar  (Bait I)

Kapan ya lingkungan ini tenang, diam tanpa suara?
Saya masih mengeluh lagi soal keheningan. Di kos-kosan saya, dari pukul satu pagi hingga tengah malam tak ada jeda untuk keheningan. Suara-suara keras dimana-mana; orang, binatang, mesin. Anjing mengonggong, orang bercakap dan berkelakar. Kendaraan berlalu-lalang. Pengeras suara terus menyala, menyebarkan suara ke segala penjuru. Saya kesulitan tidur. Untuk bisa berhasil masuk ke alam mimpi-pun saya harus memasang headset di telinga dan memutar musik supaya suara dari luar yang mengganggu tak masuk ke telinga (untuk tidurpun saya harus membuat kebisingan sendiri).
Keheningan itu sangat berarti bagi saya. Dulu saya pernah hidup dalam keheningan selama tiga tahun di masa SMA dan itu sangatlah menyenangkan. Ada banyak waktu hening, atau dulu lebih sering disebut silentium. Ada banyak waktu pula untuk bersenang-senang dan membuat kebisingan bersama. Keseimbangan dan ritme hidup sedemikian sangatlah menyenangkan.
Kini saya harus menyikapi kebisingan kehidupan ini sendiri. Beberapa teman lama juga merasakan hal yang sama. Kini kami sama-sama mencari, atau menemukan kembali keheningan dan kehidupan yang khidmat dan tenang. Keheningan itu suatu anugerah berharga, sama berharganya dengan emas dan talenta, dan kami ialah pencari harta berharga itu.

Iklan di Mana-mana

Semakin lama, yang namanya iklan itu semakin ada di mana-mana. Di jalan-jalan perkotaan, mata kita tidak bisa menghindari iklan besar yang sengaja dipasang untuk memaksa semua orang melihat. Di telepon genggam, setiap hari operator mengirim promo-promo yang menjadi spam bagi penerima pesan. Di (hampir semua) channel televisi Indonesia, jumlah iklan sangatlah banyak sehingga program acara yang ditonton memiliki jeda panjang yang membuat penonton seringkali jenuh dan bosan. 
No ads please
Ada banyak orang yang mengeluh tentang hal ini. Saya pribadi sangat terganggu dengan keberadaan iklan, terutama yang setiap hari nongol di layar ponsel. SMS promo dan beberapa spam dari nomor-nomor tidak jelas; semuanya sangat mengganggu. Iklan-iklan di televisi swasta Indonesia sangatlah banyak dan berjubel sehingga membuat jenuh pula. Saya tidak betah menonton televisi di channel lokal. Selama liburan ini nyaris tidak pernah. Lebih baik menonton channel luar negeri, atau internasional, yang lebih spesifik programnya. 
Dengan tidak menonton televisi Indonesia, jadinya ya mungkin akan ketinggalan info tren-tren terbaru. Namun itu tak masalah daripada dibuat jenuh dengan keberadaan iklan-iklan; mereka sudah terlalu banyak.
IMG

Kamis, 10 Juli 2014

Country Roads, Take Me Home

Country roads, take me home
To the place where I belong:
West Virginia, mountain momma,
Take me home, country roads.


Jalan-jalan desa yang indah
bimbinglah seorang yang pulang
tuntunlah menuju sumber air
lewat padang-padang berbunga
lewat ladang leluhur yang hijau
serta bawalah ke gubuk
ke istana kecil penuh kedamaian


Sebuah bait berbahasa Inggris diatas adalah lirik lagu Take Me Home Country Road karya John Denver. Mungkin anda tidak asing dengan John Denver; ia adalah pencipta lagu Leaving on A Jet Plane yang sangat populer itu. Lagu ini salah satu yang paling saya sukai untuk mengiringi perjalanan saya pulang dari suatu tempat ke kampung halaman. Lagunya enak! Merdu sekali dan mengena, anda patut mencobanya!
Nah, bait dibawahnya adalah ungkapan untuk setiap kepulangan saya. Selalu ada kerinduan setiapkali tidak berada di kampung halaman untuk beberapa waktu lamanya; kerinduan akan gubuk-gubuk di tengah sawah hijau membentang, belik (sumber air), serta saudara-saudara di sana. Hmm, padahal masih mahasiswa. Nanti kalau semisal sudah bekerja di tempat yang jauh dari rumah, saya tidak mungkin terus menerus larut dalam kerinduan. Namun diatas semua itu, kerinduan tersebut adalah suatu penyemangat, yang keberadaannya memberikan harapan serta menyimpan kedamaian hati; sebuah tempat yang menjanjikan peristirahatan nyaman.

Second Home Dempo

Besok adik saya sudah mulai menjalani pembinaan awal di SMA St. Albertus (Dempo) Malang. Saya sedikit ikut disibukkan oleh hal ini, karena adik masih butuh diantar. Karena 'keterlibatan' kecil ini, saya jadi mengenal lebih mengenai sekolah itu. Karena telah mengenal lebih baik, saya jadi bangga adik bisa sekolah disitu, dan berharap bisa menjalani pembinaannya dengan baik hingga lulus. Nah, kini saya bersemangat untuk membantu adik saya menggapai impiannya; sebab impian yang gemerlapan itu nanti akan mewujudkan terang bagi keluarga kami.
Ohya, kenapa kok judulnya 'Second Home Dempo'? Ini karena (mungkin) tema MOS kali ini demikian, sebagaimana saya temukan di beberapa lembar tentang MOS tahun ajaran baru 2014. Hubungannya dengan rasa bangga saya akan adik adalah bahwa saya yakin Dempo adalah tempat yang baik untuknya berkembang, sebagai remaja, sebagai pelajar, dan sebagai pengejar impian. Membaca sharing-sharing dari beberapa alumnus meyakinkan saya bahwa di Dempo, adik saya akan menemukan zona persahabatan yang membuatnya kerasan seperti tinggal di rumah sendiri, serta bersemangat dalam aktualisasi diri sebagai insan pembelajar.

Senin, 30 Juni 2014

Primbon Benar Part 2

Saya juga teringat tentang ramalan di primbon. Tidak begitu memercayai ramalan, namun juga tak menyalahkan kalau ada kesamaan, seperti yang saya kutip dari lamaran, eh, ramalan tentang garis hidup ini;

Tidak banyak teman Anda, tapi sekali Anda menerima seseorang sebagai teman, itu untuk seumur hidup. Anda sama sekali bukan seseorang yang senang berkumpul dengan orang banyak, dan sikap Anda yang tertutup dianggap sebagai mengambil jarak. Itu tidak benar sama sekali, Anda memang senang menyendiri, jauh dari segala keramaian kehidupan modern. Dalam banyak hal, Anda lebih cocok hidup di jaman yang jauh sebelum masa sekarang. (Wah... saya salah jaman?)

"Dalam banyak hal, Anda lebih cocok hidup di jaman yang jauh sebelum masa sekarang,"   demikianlah saya garis bawahi. Kesamaan semacam inilah (sama dengan keinginan kecil yang seringkali mengusik hati) yang saya maksud. Akan tetapi, kembali ke masa lalu adalah hal yang tidak mungkin. Keinginan itu tidak bisa saya penuhi secara utuh. Yang dapat dilakukan sekarang ini adalah berusaha mengejar kebahagiaan di masa depan menggunakan konsep dan metode jadul, atau singkatnya: mengejar kebahagiaan dengan prinsip: bahagia itu sederhana.

Untuk engkau yang barangkali juga 'salah jaman' seperti saya, semoga engkau mendapatkan kebahagiaan dari hal-hal kecil yang engkau lakukan sehari-hari.

Primbon Benar! Part 1

Saya baru saja membuka blog sahabat yang judulnya Yang Dulu Bukanlah Yang Sekarang. Disitu disinggung soal kebahagiaan, yang pada masa lalu bisa didapat dari hal-hal sederhana; sedangkan kini konsep sesungguhnya tentang kebahagiaan semakin pudar. Membaca dan mengulang-ulang tulisan itu membuat saya kepikiran lagi tentang kegelisahan-kegelisahan kecil tentang kebahagiaan, yang kerapkali mengusik hati. 
Bicara soal kebahagiaan, saya telah merasakan suatu keinginan yang menggema sejak masa yang lama. Keinginan itu adalah keinginan untuk hidup di masa lalu. Mengapa? Bukankah masa lalu itu tidak enak karena jaman orde baru? Ya, memang masa lalu kita agak kelam. Saya tidak tahu juga mengapa saya begitu ingin hidup sebagai orang agak dewasa di tahun 80-90 an, di era figur-figur artis wanita suka dengan model-model rambut pendek hingga sebahu atau berponi bergelombang, juga di era para figur terkenal pria masih banyak yang berkumis, serta di jaman CB dan honda 90 berjaya. Tidak banyak alasan yang saya punya. I just like it. Menarik sekali menonton film-film jadul, apalagi serial warkop DKI yang mempertontonkan orang-orang di era itu dengan gaya jadul. Lucu. Saya suka melihat gaya mereka berpenampilan. Lucu aja, demikian saya akan menjawab jika ditanya. Namun, terlepas dari hal-hal ini, kebahagiaan di masa lalu itu lebih simpel dan banyak pilihannya, khususnya untuk seorang yang hidup di desa. Dulu itu yang namanya mainan untuk anak kecil banyak sekali (saya akan menyinggung ini pada kesempatan lain). Untuk kaum muda dan dewasa, banyak sekali pilihan tontonan dan hiburan, dimulai dari ludruk, tayub, jaranan, pagelaran pencak, wayang, dan pasar malam. Kalau sekarang yang sering ada hanyalah pasar malam disertai konser dangdut dengan biduan-biduan yang bisa joget ngebor.

Sepinya Syahdu

Sejenak rumah dan lingkungan terasa sepi. Bapak telah berangkat ke masjid untuk shalat tarawih, bareng dengan tetangga-tetangga. Tak ada siapa-siapa di sekitar. Yang terdengar kini adalah suara getaran pita dari langit; suara pita layang-layang malam dan suara alam (suara jangkrik, serangga malam, dll). Suasana seperti ini sudah biasa di desa, namun sayang saya tak bisa keluar untuk menikmatinya karena kini sedang sakit. Namun, meskipun sakit, rasa aman dan tentram sangat mendukung kesembuhan (kalau di rumah). Kalau di kost, berbeda lagi ceritanya. 
Sekarang biarkan si pelamun ini menikmati sajak-sajak dan puisi orang-orang, diiringi nyanyian syahdu dari gelap dan keheningan malam.

Kini biarkan alam menyapa,
biar tanah kelahiran menimang-nimang
sang pengelana
bagai bayi dalam pelukan ibunda
jauh terpencil
dari hiruk pikuk dunia

(Sapaan Ibunda by Unknown)

Senin, 23 Juni 2014

Kutho Cilik Kang Kawentar

Beberapa waktu yang lalu saya mengetik status di facebook "Tanpa mal mewah, lampu-lampu sorot, serta tanpa kemacetan; biar Blitar tetap jadi Blitar. Ini sudah (lebih dari) cukup nyaman dan tentram." Tentu status ini bukan sekedar ungkapan dari perasaan sekilas saja, melainkan dari kekaguman yang telah ada sejak dahulu hingga kini. Kekaguman akan kecilnya kota Blitar dan keramahan lokalnya, serta kehidupan simple masyarakatnya menjadi satu harapan besar untuk masa depan saya. 
Dua jempol untuk mantan walikota bpk. Djarot Syaiful Hidayat, yang telah berani tampil beda di tengah jaman modern ini dengan melarang pendirian mall mewah bertingkat dan gedung-gedung pencakar langit. Dengan adanya aturan yang sedemikian, perekonomian di kota kecil ini justru meningkat karena para pedagang-pedagang 'cilik' mendapat tempat dan jadi pilihan masyarakat. Dengan tidak adanya fasilitas-fasilitas modern layaknya di kota-kota sekitar, kehidupan harian di Blitar tampak simple dan sederhana, namun begitu enak dilihat. Memang, tanpa adanya mal seperti di Tulungagung, Kediri, dan Malang, kota ini tampak ketinggalan. Namun, menurut saya justru ini sepatutnya jadi kebanggaan. Bukankah baik jika ada satu saja; saya ulangi "satu saja" kota kecil yang tidak ada mal-nya. Bukankah baik kita memiliki setidaknya satu kota saja di jaman modern ini yang ramah untuk orang-orang kecil, seperti yang tertulis di artikel ini (klik disini jika perlu melihat). Jika di Kediri sudah ada Ketos, dan di Malang ada Matos, serta di Tulungagung ada Golden, maka baiklah Blitar yang diapit tiga kota diatas tersebut jadi tempat persinggahan yang ramah dan murah. Let Blitar be Kawentar.
-- -- -- -- -- -- - 
Saya pribadi nyaman tinggal di Blitar dengan keadaan seperti ini, dan senang jika suatu hari sang jodoh mau diajak tinggal disini, haha (Tapi sopo? Kosong). Namun, yang terpenting adalah semoga Blitar tetap jadi seperti ini, meski pemimpinnya berganti-ganti. Semoga Blitar tetap jadi kota yang 'ramah' pada orang kecil.

Senin, 16 Juni 2014

Happy Father's Day!

Hari ini hari ayah. Berbahagialah para ayah, dimanapun mereka berada!

Saya sangat respect pada sosok ayah. Siapapun, entah kenal atau tidak, jika bertemu, akan selalu mendapat hormat saya dari dalam hati. Ada banyak hal yang menyebabkan saya seperti ini, mulai dari terinspirasi sifat kepahlawanan ayah saya sendiri, kisah-kisah ayah dari beberapa kawan yang menceritakannya, serta kepahlawanan ayah dalam kisah-kisah nyata kehidupan dan cerita-cerita di dalam film. Mereka semua sangat menginspirasi. Saya sangat menghormati mereka.

Untuk hari ini, semoga para bapak mendapat berkah serta rahmat keteguhan supaya semakin mantap dalam tugas hidupnya!

Kamis, 12 Juni 2014

Mencari Kos

Mencari kos rupanya tak semudah yang dibayangkan. Dua hari yang lalu saya seharian penuh keliling-keliling untuk mencari kos yang cocok. Satu hal yang menyebabkan kesulitan itu ialah sistem pembayaran yang sudah tidak perbulan lagi. Jadi, di Malang kini hampir semua kos sistem bayarnya tahunan seperti kontrakan sehingga masalah harga jadi pertimbangan penting. Saya dan beberapa kawan yang membantu mencari kos (kami berlima) menghabiskan satu hari penuh keliling-keliling area-area kost. Di malam hari, saya ditemani seorang kawan berkeliling lagi, setelah sebelumnya mendapat beberapa info dari internet. Demikianlah dua hari yang melelahkan berlangsung. Hasilnya, kami menemukan satu kos-kosan yang menyediakan dua kamar kosong, pas untuk kami berdua. Hal baiknya adalah; pertama; bahwa kos-kosan itu masih menerapkan sistem bayar perbulan; kedua, bapak kosnya tidak muluk-muluk dan ramah; ketiga, tempatnya tak begitu jauh dari kampus. Sayangnya; dari dua kamar itu hanya ada satu yang nyaman.
Saya sudah yakin dan segera mengamankan kesempatan itu kemarin, sementara kawan saya malam ini hendak bertemu dengan bapak kos untuk mengamankan calon kamarnya; semoga kawan saya ini berhasil pula mengamankan kesempatan itu.
Demikianlah kami, dengan bantuan beberapa kawan menemukan kos. Kini, setelah hari-hari yang melelahkan berlalu, saya berencana untuk melakukan sesuatu. Nah, selagi bersantai ada baiknya melakukan sesuatu yang berguna untuk kelanjutan hidup.

Jumat, 06 Juni 2014

Mercy

Saya turut bersedih akan keluarga paman saya. Saya tak bisa hanya diam setelah secara langsung menjadi saksi pertikaian mereka. Malam ini, saya kebetulan berada di rumah bapak dan menceritakan apa yang terjadi pada siang hari tadi. Syukurlah bapak adalah orang yang sangat tepat untuk mendengar berita ini. Bapak dan bibi memiliki kedekatan seperti kakak dan adik. My father is the most trusted person for her! Bapak adalah satu-satunya sanak yang bisa diandalkan bibi. 
Mendengar cerita ini, ia berencana mengunjungi bibi esok hari. Saya yang tak punya hak untuk bicara dan membantu paman dan keluarganya, kini sedikit bangga karena bisa secara tidak langsung membantu mereka melalui bapak. 
Kini saya berharap agar esok hari lembaran baru terbuka untuk paman dan keluarga. Semoga solusi baru yang jernih dapat mengubah suasana yang tegang menjadi damai. 

Saya sengaja menceritakan masalah ini karena ingin berbagi suatu hal penting bahwa rumah tangga itu selalu identik dengan tantangan-tantangan yang bisa memecah-belah. Itu adalah suatu tahap dimana iman, kesetiaan, dan kedewasaan benar-benar diuji. Orang-orang bertengkar; mereka mungkin sudah tidak ingat lagi arti dan makna sebenarnya dari perkawinan itu sendiri, pengorbanan satu sama lain, dan juga arti dari komitmen mereka di masa-masa penuh cinta kasih.

Terjebak

Hari ini saya terjebak dalam pertengkaran rumah tangga. Ketika hendak istirahat siang, nenek menghampiri saya dan meminta untuk diantar ke rumah paman, karena ia menelepon nenek dan memintanya untuk datang sebentar ke rumahnya. Saya segera ganti pakaian dan berangkat. Tak butuh waktu lama untuk sampai di lokasi yang jaraknya 4 kilometer. Sesampainya disana nenek terkejut karena suasana rumah sepi. Pintu ditutup dan tak ada suara samasekali. Selang beberapa saat, paman membuka pintu dan mempersilahkan kami langsung ke ruangan belakang, melewati ruang televisi dimania bibi terbaring tidur. Setelah itu paman menceritakan langsung intinya bahwa ia dan bibi akhir-akhir ini bertengkar terus karena masalah anak yang nakal dan tidak bisa diatur. Ia membeberkan bahwa ia menyerah karena bibi terus menyalahkannya dan selalu mau menang sendiri dalam percekcokan.
Nenek mencoba menengahi; ia membangunkan bibi dan kemudian disinilah awal pertentangan yang menakutkan. Bibi berteriak-teriak sambil menangis seperti orang kerasukan pada film-film horror eksorsis. Ia menyalahkan paman dan memaki-makinya; katanya sebagai seorang suami paman samasekali tak pernah support di saat-saat bibi pusing memikirkan ulah dan tingkah anak. Paman bahkan, katanya, hanya memperkeruh suasana rumah tangga. Dari sini, bibi terus berteriak-teriak dan memaki-maki, sedangkan paman.
Saya terjebak di ruang belakang rumah. Setiap kali bibi berteriak, saya semakin merasa teriris. Tak ada yang bisa saya lakukan. Pintu sengaja ditutup agar orang diluar tidak tahu. Jadi selama kurang lebih satu setengah jam, saya berdebar-debar, dan terus menanti keduanya menurunkan ketegangan. Setelah beberapa saat yang terasa makin mendebarkan, nenek memutuskan untuk pulang, sementara itu paman sempat berusaha menahan kami, sebelum akhirnya merelakan kami pergi.

Indah

Ibadah

IMG here
Mungkin jika seseorang hidupnya sedang berantakan dan tidak tenang adalah akibat dari melupakan waktu untuk lebih dekat dengan Sang Pencipta. Mungkin jika seseorang selalu merasa kurang beruntung dalam hidup ini, atau merasa buntu setiap hari, itu karena kurang beribadah, kurang shalat. Ibadah adalah salah satu inti dari hidup ini. Mungkin kebanyakan orang juga berpikir demikian. Kedekatan dengan Sang Pencipta mendatangkan banyak berkah dalam hidup. Semoga si pengembara dan siapa saja yang saat ini jauh bisa kembali dekat dengan Dia yang memberi kehidupan.
Amin.

Kamis, 05 Juni 2014

Dibalik Senyum

Jangan tersenyum padaku
Jangan berlaku baik
Jangan lakukan itu
di depanku, sedang
dibelakang kau berbisik
cerca, cela, kekecewaan
Jangan tersenyum padaku
Jangan lakukan itu,
percuma, semua palsu!

Pertama-tama, biarkan saya menegaskan dulu bahwa ini tak ada kaitannya dengan kesulitan tentang kos seperti yang tertulis pada postingan-postingan sebelumnya. Ini tentang hal lain.

Saya tak dapat mengatakan banyak hal tentang kekecewaan saya pada saat ini. Sebuah pengkhianatan, kalau saya boleh menyebutnya. Orang-orang berlaku baik pada keluarga saya saat saya di rumah. Mereka ramah sekali, menyapa dengan senyum dan berbicara dengan canda. Namun, ketika saya tidak ada, mereka mengatakan banyak celaan dan omong kosong tak berguna pada ayah. Itu semua bertujuan agar ayah tak mempedulikan saya dan adik lagi karena sudah tidak bersamanya.
"Untuk apa bejuang keras demi membiayai sekolah anak-anakmu. Ketimbang sekolah dan kuliah, seharusnya mereka bekerja" demikian kata orang. Ayah sendiri menceritakan ini pada ibu. Ibu menceritakannya pada saya. 
Tanggapan pribadi tentang komentar mereka?
Kalau ayah berpikir mereka omong kosong. Sayapun demikian. Namun yang sangat saya sayangkan adalah kepalsuan dari kebaikan-kebaikan mereka. Di depan, mereka memuji-muji, namun di belakang mereka melempari keluarga saya dengan cela agar runtuh.
Saya tidak membenci mereka dan yang terpenting bagi saya adalah kebangkitan keluarga itu sendiri. Tak peduli kata orang; hanya pada kebahagiaan pribadi dan orang-orang yang berarti.
Tuhan memberkati. Amin.

Beban

Akhirnya semua orang mengatakan titik kepada saya tentang kos. Titik, demikian kata mereka. Mereka bilang saya anak yang tidak punya kasihan pada orangtua. Mereka juga berkata saya malas dan hanya menyusahkan. Budhe saya mengisyaratkan saya untuk tinggal di rumahnya di Batu, agar tidak membebani orangtua lagi.
Ya, orangtua saya memang tidak berkecukupan. Saya sendiri sebenarnya sudah mempertimbangkan dengan baik semuanya. Hanya saja, mereka tidak percaya pada saya. Mereka takut kalau saya ngekos, disamping akan menyusahkan orangtua, juga akan menjadikan diri saya mudah terseret pengaruh-pengaruh. Oh please! Orang-orang ini memang tidak akan pernah memercayai saya; dari dulu! Saya masih ingat contohnya, ketika mendaftar SNMPTN untuk masuk perguruan tinggi dulu, mereka berpikir saya hanya akan menemui kegagalan (mereka sendiri mengatakannya), namun pada akhirnya saya lolos.
Bagaimana kelanjutannya, saya tidak tahu. Hanya pilu dan bimbang menyelubungi pikiran. Saya kini jadi kasihan pada ayah. "Memang betul saya hanya membebani," kata-kata inilah yang kini menghancurkan hati saya.  
Namun tentu saya tidak akan diam dan tidak berusaha. Ini adalah tantangan dan akan sangat membanggakan jika saya menemui solusi brilian.  Well, a tough struggle strats here.

Sulitnya

Keinginan untuk ngekost rupanya masih saja menemui halangan. Ibu saya kemarin menelepon dan menyarankan saya untuk tinggal di sang timur jalan bandung, karena setelah bilang ke biarawati pemimpin bahwa saya sudah keluar, ia disarankan untuk membujuk saya supaya tinggal di tempat itu. 
Saya tak menjawab dengan banyak kata. Saya hanya geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, saya sudah keluar dari tempat biara dan kini diminta untuk tinggal di biara lainnya. Biara? Susteran? 
Please!
Saya tak akan menuruti saran biarawati itu.
Entah mengapa, untuk hidup normal dan bebas saja sulitnya minta ampun. Namun saya tetap maju, meskipun orangtua tidak mendukung samasekali.
Hmm. Saya benar-benar labil saat-saat ini. Mungkin ini saat yang tepat untuk segera melakukan hal-hal berguna untuk menghilangkan segala penat dan beban pikiran.

Gl Is Over

Selamat tinggal GL Max, motor tua yang dulunya saya idam-idamkan, namun sangat mengecewakan ketika saya memilikimu! 

Ada banyak hal buruk yang menimpa saya ketika bersamanya. Minggu lalu, dalam tujuh hari saja saya harus membawanya ke bengkel dua kali. Piss off! Kecelakaan pertama saya dengan kendaraan bermotor adalah dengan si GL ini pula. Saya jadi jarang keluar semester ini karena takut motor mogok. Bersama motor itu, saya sering tertimpa hal buruk; sangat menyebalkan.
Disamping pengalaman buruk, ada beberapa pengalaman baik, misalnya mengajari Stanley mengendarai motor berkopling, pergi ke pantai bersama kawan-kawan kuliah, dipakai keliling-keliling kota Malang di malam hari, mengantar beberapa gadis (hehehe), dan memenangkan beberapa balapan. Hoho tapi yang terakhir tidak sungguhan. Bukan balapan di lintasan melainkan balapan di jalan raya biasa dengan pengendara lain yang menantang. Ngomong-ngomong kalau mengingat masa itu saya ngeri. Kini saya tidak berani lagi berkendara dengan kecepatan tinggi semenjak kecelakaan yang lalu.

Masa gl max telah beralu, semoga ini jadi satu indikasi hidup saya perlahan berubah kearah yang lebih baik dan layak.

Rabu, 04 Juni 2014

Kepindahan

Hari ini hari terakhir saya tinggal di tempat ini. Saya keluar untuk menjalani hidup baru dengan pengalaman-pengalaman baru. Dua tahun bertahan di tempat sepi dan terpencil rupanya telah menghancurkan hati saya, meskipun kerapkali dalam keheningan saya mendapatkan kedamaian. Bukan sepinya, melainkan keterpencilannya dari peradaban. Inilah yang meremukkan saya. Pun demikian, saya bertahan terus karena orangtua. 
Maka akhirnya saya sedikit memberontak. Dan ini tepat sekali. Situasi dan kondisi di komplek ini sedang dalam masalah besar. Karyawan-karyawan keluar satu persatu karena ketidakcocokan dengan sikap pemimpin baru yang terlalu kaku dan otoriter. Saya sendiri tidak suka karena ia terlalu formal. Saya tidak suka melakukan hal-hal tidak penting yang hanya untuk sekedar formalitas. Menghormatinya selalu dengan tutur kata baik dan halus dan membungkuk dengan cara tertentu, serta laporan setiapkali pulang kuliah; oh no! Itu mimpi buruk. Saya tidak melakukannya! Samasekali.
Karena hal-hal tersebut, orangtua saya setuju saya pindah. 
Maka setelah berpikir panjang akhrinya saya putuskan untuk pamit keluar. Mungkin setelah ini saya akan ngekost. Dengan hidup di kost, saya akan lebih dekat dengan gereja, dekat dengan teman-teman, dan dekat dengan peradaban.

What Now?

Bunga yang wangi semerbak berwarna putih, casablanca, telah dipetik. Bukan si pengembara yang selalu meliriknya, melainkan insan lain yang punya kebiasaan sangat rutin setiap harinya mendekatinya. Jadi, selanjutnya apa untuk si pengembara?
Rupanya ia telah terlalu lelah dengan kekalahan. Jiwanya terlalu banyak kehampaan dan gelap gulita. Ia sendiri sudah terlalu banyak bersedih karena ditinggalkan harapan. 
Seseorang menanyainya,
"Bagaimana perasaanmu? Melihat dirimu sendiri beberapa kali seperti itu?"
Pengembara menjawab,
"Entahlah. Saya lelah dengan hidup saya yang gelap. Saya hendak memulai yang baru, dengan diri yang baru, serta pembawaan hati yang baru pula."
"Mengapa berkata demikian?" Tanya orang itu lagi.
"Kau tahu, saya perlu lebih banyak aktualisasi diri. Mengapa saya harus mengharapkan sesuatu dengan mengorbankan perasaan? Mimpi-mimpi saya disana, jauh di depan. Tanggungjawab saya disini, di bahu kanan dan kiri. Semakin jauh saya melangkah, semakin besar tanggungan ini. Saya seharusnya jadi pria berhati singa, seperti Richard, atau berhati keras sekeras batu dan sedingin es. Saya berharap dan berusaha menjadi demikian karena memang hendaknya demikianlah hati seorang pengelana; hati seorang pria."
 "Saya mengerti," kata orang itu. "Kita seharusnya mengejar mimpi-mimpi kita dan fokus pada hal-hal itu. Mimpimu sangat simple, bukan? Kau mungkin hanya perlu sedikit fokus, maka akan kau raih semuanya," sambungnya.
"Benar. Terimakasih, sahabat!" jawab si pengembara.

Rabu, 28 Mei 2014

Pendamai

Salah satu hal besar tentang hidup yang diajarkan orangtua saya adalah tentang damai. Sejak dahulu mereka berdua mengajarkan saya untuk menjadi pendamai. Tidak boleh ada rasa benci dan dendam, harus segera melupakan kejengkelan terhadap orang lain, begitu tutur mereka berulang-ulang. Hal ini menjadi sebuah proses panjang untuk membentuk seorang pendamai.
Saya tidak menyadari proses ini; kecuali jika saya sedang marah dan tidak suka dengan seseorang kemudian teringat beberapa teguran di masa kecil dan juga teringat akan orangtua saya yang tidak suka punya rasa benci terhadap orang lain. Hasil dari proses ini dapat saya rasakan karena hal-hal yang menyadarkan itu.
Saya bersyukur terlahir di keluarga pendamai. Kinipun saya masih berproses, untuk menjadi lebih pendamai. 
.... ....... ...... ..... ...... 
Tenang dan hening
Hatiku 
Damai bergeming
Jiwaku bebas!

Syukur

Saya sangat bersyukur, meskipun ayah saya harus tinggal sendirian, ada banyak orang yang baik padanya. Sayapun sangat bahagia dilahirkan di desa ini. Ayah memang sudah terkenal sejak dahulu karena keuletan dan capnya sebagai orang paling rajin. Orang-orang begitu menyukainya. Meskipun dulu ia sempat difitnah oleh saudara-saudaranya dan terkucil di lingkungan, kini justru lebih banyak orang yang perhatian padanya; lebih banyak orang yang datang dan mampir ke gubuk kami yang kecil ini untuk sekedar berbincang atau bercanda. Saya sangat bersyukur atas keberadaan mereka semua. Terberkatilah mereka. Amin. 
Diatas semua ini saya sangat bersyukur karena ia masih gigih berjuang demi saya dan adik. Saya tidak akan mengecewakannya. Semua jerih payahnya akan segera menuai kebahagiaan sempurna. 
Amin. 

Feeling at Home

Hari ini saya merasa sangat damai. Saya di Blitar, di kampung halaman dan bertemu orang-orang yang menyenangkan. Hari ini saya keliling kota; kota yang amat kecil namun tenteram. Suasananya begitu ramai, orang-orang lalu-lalang, jalanan tak pernah sepi namun tidak ada kemacetan samasekali. Saya memperhatikan, di setiap lampu merah rata-rata jumlah mobil yang berhenti hanya dua hingga empat saja. Selebihnya adalah sepeda motor, sepeda, dan becak. Ini sangat berbeda dengan kota dimana saya menempuh studi sekarang.
Di kota ini tidak ada mal sejak dulu dan (semoga) tidak akan pernah ada mal di masa depan. Ini sudah menjadi kebijakan pemerintah yang turun temurun, yang diyakini menjadi penyelamat bagi keberadaan pasar tradisional. Menurut saya pribadi, tidak adanya mal menjadikan kota ini lebih ramah dan tenteram.
Disini sangat nyaman sekali, seperti yang tersirat pada lagu campursari berjudul Blitar. "Blitar kutho cilik kang kawentar," demikian bunyi liriknya. "Blitar, kota kecil nan bersinar," demikian artinya.

Demikianlah... Blitar. This is Blitar!
Saya berdoa semoga Blitar tetap mempertahankan kesan ini hingga di masa yang akan datang.

Sabtu, 24 Mei 2014

Syahdunya Paduan Suara

Saya sangat menikmati paduan suara. Kesukaan ini telah ada sejak masa kecil, ketika saya mendengar satu paduan suara dalam salah satu serial Tom and Jerry; tak tahu secara detil yang episode apa; namun seingat saya itu ada di bagian yang menceritakan perang dunia dan tikus-tikus yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan manusia yang melibatkan mereka. Lirik dari lagu yang mengiringi tidak terdengar jelas karena saya masih sangat dini untuk memahami bahasa Inggris. Yang saya ingat dengan baik adalah nada-nadanya; terdengar seperti Hark The Herald Angels Sing.
 
Dalam film kartun itu, tikus-tikus berusaha melarikan diri dari tempat tinggal mereka yang hancur karena bom-bom perang. Suasana dunia yang tergambar adalah gelap, kacau, dan dingin; namun tikus-tikus saling bekerjasama dan dalam kebersamaan mereka menciptakan suasana yang hangat dan damai. Paduan suara yang syahdu dan agung mengiringi kehangatan suasana kebersamaan para tikus di tengah dunia yang dingin dan gelap. Merdu suaranya meggema seperti lagu-lagu pujian pada tanggal 24 Desember malam hari.
Memorable!
 
Demikianlah saya jatuh cinta pada paduan suara. Suara yang dipadukan lebih mengena di hati. Bermacam-macam suara berpencar memasuki lorong-lorong hati dan menggema, menciptakan suasana syahdu dan megah. Suara yang terpecah-pecah menjadi beberapa bagian namun berpadu dengan baik adalah suatu keindahan tersendiri. Paduan suara memang sempurna; tak heran jika band legendaris seperti Queen juga menciptakan paduan suara yang megah di beberapa lagu mereka.

Jumat, 23 Mei 2014

All Kinds of Everything Remind Me of You

Apa yang tidak ada di dunia nyata ada dalam mimpi. Inilah yang saya alami pagi ini. Mimpi indah membuat saya terbangun lebih awal. Dalam mimpi itu dia berkata:
"I love you, oh my beloved man from east, more than anything!"

I can't describe how I was feeling. Tentang bagaimana perasaan saya, itu tak terlukiskan! Saya melambung tinggi dalam kebahagiaan; dan oleh karena hal ini saya terbangun. Pertama-tama; sulit rasanya membedakan apakah yang barusan dalam mimpi itu terjadi kemarin di dunia nyata ataukah hanya mimpi sekilas yang baru saja terjadi. Setelah kembali seratus persen sadar, saya mengadu dalam doa, memohon bantuan Tuhan untuk melupakannya. I have tried to move on. I have just failed.
Saya tak kunjung berhasil move on  karena segala hal mengingatkan saya padanya. Saya mungkin akan menolak diajak teman-teman lama saya camping di pantai, karena pantai mengingatkan saya akan ia yang mengunjungi pantai bersama saya dan teman-teman. Selain pantai, saya kemarin menolak sepupu saya yang mengajak jalan-jalan di suatu kota, karena kota itu adalah tempat dimana ia tinggal. Ketika hendak pergi ke kota tersebut, yang muncul di dalam pikiran saya adalah dia; entah mengapa, padahal di kota tersebut juga ada banyak kenangan indah bersama teman-teman SMA dan keluarga saya pada masa kecil. 
All kinds of everything remind me of her. 
Mungkin saya sudah kebangetan rindu pada seseorang. Untuk sementara, sebuah cara yang terpikirkan untuk melupakannya adalah mencoba banyak hal baru di liburan ini; mengunjungi tempat-tempat baru yang tidak menyimpan kenangan tentangnya. Mungkin saya akan pergi ke Bandung, ke tempat tinggal tante saya. Barangkali ada banyak pengalaman berkesan yang dapat memperbaharui semua hal yang ada dalam benak saya.

Rabu, 21 Mei 2014

Farewell

Mungkin kami adalah orang yang tidak suka berpisah terlalu cepat. Selesai bergembira bersama di pantai, kami makan malam bareng di Nelongso Suhat Malang. Beberapa menit kami habiskan disana dengan rileks. 
Kami bersenda gurau.
Teman-teman bercanda.
Rose, yang notabene sudah jelas tidak ada apa-apa dengan saya jadi sasarannya. Teman-teman membujuknya (memaksa mungkin lebih tepatnya, haha) untuk diantar saya ke kosnya. Saya beranjak; ia saya antar ke kos-kosannya. Kami mengobrol sedikit, sedikit tentang hal-hal kecil sepanjang perjalanan; sedikit karena tidak butuh waktu yang lama untuk sampai di kosnya. Saya pribadi senang akan kerjaan teman-teman ini di satu sisi, namun di sisi lain saya jadi semakin sungkan dengannya. 
Setelah mengantarnya, saya mampir di kos teman saya, Pandu. Kami sharing-sharing untuk beberapa saat. Setelah itu, saya menuju rumah kawan saya untuk nunut bermalam karena kos saya jauh letaknya; jauh dari peradaban kota ini.
Dan malam itu saya beristirahat dengan damai, membawa kenangan-kenangan indah sepanjang hari ke alam mimpi, dimana hal-hal yang tidak terjadi pada moment-moment itu, terjadi di dalam mimpi; dimana cinta yang tak ada, ada dalam mimpi itu! Mimpi yang indah! Saya tidak bisa menjumpainya di alam nyata. Suasana  yang sempurna!

Perjalanan Pulang Yang Berbahaya

Kami pulang sore hari. Kami semua senang, namun juga lelah. Saya sangat kecapekan dan ingin segera tidur, namun saya masih punya satu tugas lagi; pulang dengan selamat; mengantarkan Mita dengan selamat. Saya mempersiapkan diri dengan baik dan konsentrasi penuh saat berkendara karena tidak mau terjadi apa-apa; tidak ingin suatu hal buruk terjadi pada saya dan teman yang saya bonceng sehingga membuat yang lainnya repot. Setelah berdoa bersama sebelum berangkat, saya berdoa secara pribadi pada waktu berkendara.
Untungnya berdoa, jalanan menjadi liar saat petang meraja. Tak ada pencahayaan yang layak. Jalan raya gelap, namun kendaraan-kendaraan dari arah berlawanan menyalakan lampu yang terangnya menyilaukan dan mengaburkan pandangan. Sungguh saya gemetar menghadapi dim lampu atau lampu menyilaukan dari kendaraan-kendaraan dari arah berlawanan. Saya tertinggal di belakang, terjebak diantara truk-truk gandeng dan bus-bus yang besar-besar dan berbahaya. Saya sangat kesulitan dan gentar menghadapi sempitnya celah-celah untuk mendahului. Sementara, arus seberang penuh dengan laju cepat dan liar kendaraan bermotor. Petang hari itu benar-benar liar. Pinggiran benar-benar liar!
Diatas semua ini, saya sangat khawatir pada teman-teman saya, terutama yang cewek karena mereka lemah lembut, semetara jalan raya berlaku sangat keras dan liar dalam gelapnya petang hari. Selain mereka, saya juga khawatir akan Akbar dan Pandu. Akbar berkendara pelan dan tertinggal jauh di belakang, sementar Pandu sebelumnya sudah berkata bahwa ia kesulitan berkendara pada petang hari karena sedikit rabun senja. Kekhawatiran yang sama juga pada yang lainnya, pada semuanya. Dunia terlalu tidak ramah dan acuh terhadap kebahagiaan kami; masih saja! Kenapa masih saja macet, kenapa orang melakukan dim yang menyilaukan, kenapa orang berkendara sangat cepat dan membuat kaget pengendara lainnya? dan kenapa tak ada lampu penerang jalan? Demikianlah protes saya sepanjang perjalanan akan keadaan pada petang hari itu. Karena terlalu banyak kekhawatiran, saya mengimbangi konsentrasi dengan doa-doa untuk keselamatan bersama; dan syukurlah semuanya dapat sampai pulang ke tempat masing-masing.

Part 3

Setelah itu kami kembali bersenda-gurau dengan dewa Poseidon (maaf, maaf maksudnya ombak). Ombak dan gelombang besar menjadi daya tarik tersendiri untuk dihadapi. Badan kami basah kuyup. Pasir-pasir masuk kedalam pakaian kami, ke baju hingga celana dalam. Namun semua dapat dibersihkan saat gelombang besar menerjang, menghempaskan kami ke pantai, terdampar. 
Kebahagiaan ini sulit saya lukiskan dengan kata-kata karena terlalu banyak kebahagiaan itu di dalam hati. Singkatnya, saya sangat menikmati hari kemarin. Ke pantai rugi rasanya kalau tidak basah-basahan; dan kemarin, semua gejolak hati keluar. Semua beban-beban dan keluh kesah hilang terbawa ombak ke laut lepas.