Menghadiri
misa di Sabtu sore yang mendung namun tidak hujan sedikit terasa berbeda untuk
saya, sebab sudah dua miggu saya tidak ke gereja. Dan kali ini, saya menghadiri
misa di kota saya ini. Selalu ada kerinduan besar akan gereja tua itu, meskipun
para imam datang dan pergi dan sedikit yang saya kenal sekarang, namun
jemaatnya tetap; saya mengenal mereka.
Seperti biasa, tempat duduk di belakang menjadi favorit.
Nah, disini saya bertemu pak Darto, guru matematika waktu saya kelas tiga SMA.
Beliau sudah sangat sepuh, namun wajah cerianya tak pernah
pergi. Saya sedikit heran karena biasanya beliau duduk di depan, dan ketika
saya bertanya mengapa kok tumben duduk di belakang, beliau menjawab
sambil tersenyum, "kalau dulu saya sama istri saya, sekarang
sendiri." Istri pak
Darto meninggal pada 30 Oktober yang lalu. Setelah mengetahui hal ini, saya
merasa tidak enak dan bingung harus mengobrol tentang apa lagi, namun beliau
dengan wajah sumringah-nya
tetap mengajak saya bicara tentang hal lain yang menyenangkan. Di akhir misa,
pak Darto berdoa singkat, lalu setelah itu berpamitan pulang duluan sambil mengucapkan "semoga
sukses" kepada saya.
Perjumpaan dengan pak Darto membuat saya terharu. Kini
beliau sudah tua dan sendiri, namun tetap menghadiri misa dan bersikap ceria
dan ramah. Kini beliau duduk di bangku belakang, bangku pilihan bagi (agak)
banyak kaum pria yang ke gereja tidak bersama istri, atau pacar dan bagi mereka
yang masih lajang, bangku pilihan untuk menyaksikan lebih luas perayaan rahmat
Tuhan.
Kini saya berdoa agar pak Darto selalu sehat dan agar
beliau tidak kesepian. Untuk semua kebaikan yang beliau telah berikan, semoga
rahmat kedamaian menyertai sehingga kepenuhan hidup menjadi milik beliau.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar