Rabu, 17 September 2014

Orang Bodoh dan Padang Rumput Saya

Tidur dalam mimpi yang indah. Saya berada di padang rumput hijau nan tenang. Hanya kicau burung, hembusan angin, dan suara percikan air sungai yang terdengar. Di sungai itu saya menceburkan diri dan merasakan air segar membasuh kaki, sambil memandang ikan-ikan dengan beragam warna dan menengadah ke langit biru yang luas dan dihiasi awan putih berarak dan siluet-siluet hitam yang berterbangan. Sejauh mata memandang, padang itu tampak hijau seluruhnya, tak berujung. Tak ada manusia lain, hanya saya dan kehidupan alam yang harmonis. Mimpi yang indah. Keheningan sejati! Namun, sayang sekali hal indah ini hanyalah sebuah permulaan dari mimpi buruk. Selang beberapa saat setelah suasana sepi itu, terdengar suara ledakan besar dari jauh diiringi oleh api yang menyulut keluar dari horison. Dari jauh tampak siluet kecil burung-burung terbang menjauh, menuju arah saya seolah memberitahu bahwa tempat itu sudah tak aman lagi. Saya heran dan mencoba mencermati kegaduhan tersebut, karena terjadi ledakan-ledakan lainnya yang semakin lama semakin dekat dan terdengar lebih keras. Tak ada satupun hal yang terlihat sebagai pelaku kegaduhan itu, sementara binatang-binatang sudah pergi menjauh meninggalkan padang rumput. Tak ada siapapun, sedangkan suara itu semakin terasa dekat. 
Saya terbangun dan sadar bahwa saya tidak akan pernah menemukan penghasil kegaduhan itu di padang rumput tersebut karena pelakunya tidak ada di dunia mimpi, melainkan dunia nyata, tepatnya di ruang kost sebelah. Diiringi suara-suara tawa yang gaduh dan musik dangdut, metal serta melayu yang mengumpati sang keheningan malam, seseorang terdengar sedang memukul-mukul pintu. Suara itu keras sekali dan sebegitu gaduhnya hingga merusak surga dalam mimpi itu. Orang itu terus memukul pintu dengan palu, tak tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah tindakan orang tak bertoleransi dan tak berperasaan. Lama sekali saya menunggu kapan "pintu yang rusak" itu selesai dibenarkan. Hingga pada akhirnya, "orang bodoh" itu melemparkan palu tepat di bawah tangga yang letaknya di depan kamar saya. "Duakkkk," suara gaduh terakhir dari aktivitas itu meledak tepat di depan saya. 
Tidak ada niat untuk membentak atau memberi peringatan karena kaki saya sedang sakit saat itu, ditambah suara masih serak karena batukSambil mengelus dada, saya mencoba melanjutkan tidur tetapi tidak bisa. Setelah hantaman-hantaman berisik itu, suasana masih belum hening karena mereka terus bercakap dan pemutar musik masih keras berteriak-teriak. 
Akhirnya yang saya lakukan ialah membagi pengalaman ini, sambil menunggu kapan rasa ngantuk datang membantu untuk tidur kembali. Saya juga mencoba melindungi telinga saya dari polusi suara itu dengan memutar musik gregorian dan klasik.
Sejauh ini, bisa dibilang belum ada harmoni dalam kehidupan saya. Dulu ketika masih belum ngekost, saya hidup di tempat yang tenang sekali, namun jauh dari peradaban, suram, dan jauh dari teman-teman. Sekarang saya dekat dengan peradaban dan dekat dengan para sahabat. Sering sekali mereka mengunjungi saya dan ini adalah sesuatu yang sangat baik. Namun, ternyata masih ada satu hal yang janggal disini, yaitu kegaduhan yang tak tahu waktu dan tempat.
Gusar dan jengkel itu pasti. Hidup di tengah-tengah orang bodoh dan bebal, mungkin butuh kecerdikan sendiri untuk mengatasinya, seperti perkataan ini, "Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba di tengah-tengah serigala. Maka, hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati (Mat 10:16)." Mungkin saya hanya perlu sedikit kreatif mendekorasi ruang saya agar anti suara luar atau melakukan cara lain yang sejenis.
Diatas semua itu, saya tidak amat sangat menyesal bahwa harmoni antara keheningan dan keceriaan belum bisa saya wujudkan. Ini semua adalah bagian dari jalan menuju kehidupan gemilang dan harmonis.

Rabu, 17 September 2014 00.50 WIB
Dalam kegaduhan yang memecah Tengah Malam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar