Jumat, 03 Januari 2014

Setiap Orang Berhak Bahagia

Saya melihatnya sejak awal masuk universitas. Tak tahu, di jurusan mana gadis itu menempuh studi; yang jelas, ia seangkatan dengan saya. Badannya begitu mungil, terlalu mungil, mungkin untuk bisa dikatakan anak kuliahan. Lehernya amat pendek, sehingga kepalanya seakan menempel di bahu. Sesekali saya berasumsi bahwa ia cacat. Setiap kali berjalan dengan teman-temannya yang tingginya rata-rata, ia selalu tampak bersusah payah mengejar langkah mereka. Langkahnyapun seperti tertatih-tatih.
Terkadang saat saya melihatnya, ada rasa iba dan prihatin mengusik hati. Tak jarang muncul pertanyaan "Apakah ia punya teman baik?" Lalu, biasanya dengan sendirinya muncul doa supaya dia mendapat kebahagiaan seperti yang dirasa orang-orang normal yang bahagia; semoga orangtuanya mengasihinya setulus hati; dan semoga Tuhan menyertainya dalam perjalanan hidupnya meraih impiannya. Disamping rasa iba, saya juga merasa melihat cahaya pada dirinya. Di wajahnya terpancar suatu semangat dan asa yang selalu menyala. Ia tampak berteguh hati menjalani kehidupannya.
Suatu ketika, saya berdiri di gedung D7 fakultas sastra. Saya melihatnya; berjalan beriringan dengan teman-temannya sambil tertawa. Teman-temannya tampak baik dan tulus. Saya senang melihatnya. Dalam hati, dengan sendirinya terdengar kata-kata "Iapun berhak mengalami keindahan kehidupan ini, dan dunia harus menyambutnya." Kata-kata ini selalu muncul setiap kali saya melihat orang-orang sepertinya yang sedang bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar