Senin, 30 Juni 2014

Primbon Benar Part 2

Saya juga teringat tentang ramalan di primbon. Tidak begitu memercayai ramalan, namun juga tak menyalahkan kalau ada kesamaan, seperti yang saya kutip dari lamaran, eh, ramalan tentang garis hidup ini;

Tidak banyak teman Anda, tapi sekali Anda menerima seseorang sebagai teman, itu untuk seumur hidup. Anda sama sekali bukan seseorang yang senang berkumpul dengan orang banyak, dan sikap Anda yang tertutup dianggap sebagai mengambil jarak. Itu tidak benar sama sekali, Anda memang senang menyendiri, jauh dari segala keramaian kehidupan modern. Dalam banyak hal, Anda lebih cocok hidup di jaman yang jauh sebelum masa sekarang. (Wah... saya salah jaman?)

"Dalam banyak hal, Anda lebih cocok hidup di jaman yang jauh sebelum masa sekarang,"   demikianlah saya garis bawahi. Kesamaan semacam inilah (sama dengan keinginan kecil yang seringkali mengusik hati) yang saya maksud. Akan tetapi, kembali ke masa lalu adalah hal yang tidak mungkin. Keinginan itu tidak bisa saya penuhi secara utuh. Yang dapat dilakukan sekarang ini adalah berusaha mengejar kebahagiaan di masa depan menggunakan konsep dan metode jadul, atau singkatnya: mengejar kebahagiaan dengan prinsip: bahagia itu sederhana.

Untuk engkau yang barangkali juga 'salah jaman' seperti saya, semoga engkau mendapatkan kebahagiaan dari hal-hal kecil yang engkau lakukan sehari-hari.

Primbon Benar! Part 1

Saya baru saja membuka blog sahabat yang judulnya Yang Dulu Bukanlah Yang Sekarang. Disitu disinggung soal kebahagiaan, yang pada masa lalu bisa didapat dari hal-hal sederhana; sedangkan kini konsep sesungguhnya tentang kebahagiaan semakin pudar. Membaca dan mengulang-ulang tulisan itu membuat saya kepikiran lagi tentang kegelisahan-kegelisahan kecil tentang kebahagiaan, yang kerapkali mengusik hati. 
Bicara soal kebahagiaan, saya telah merasakan suatu keinginan yang menggema sejak masa yang lama. Keinginan itu adalah keinginan untuk hidup di masa lalu. Mengapa? Bukankah masa lalu itu tidak enak karena jaman orde baru? Ya, memang masa lalu kita agak kelam. Saya tidak tahu juga mengapa saya begitu ingin hidup sebagai orang agak dewasa di tahun 80-90 an, di era figur-figur artis wanita suka dengan model-model rambut pendek hingga sebahu atau berponi bergelombang, juga di era para figur terkenal pria masih banyak yang berkumis, serta di jaman CB dan honda 90 berjaya. Tidak banyak alasan yang saya punya. I just like it. Menarik sekali menonton film-film jadul, apalagi serial warkop DKI yang mempertontonkan orang-orang di era itu dengan gaya jadul. Lucu. Saya suka melihat gaya mereka berpenampilan. Lucu aja, demikian saya akan menjawab jika ditanya. Namun, terlepas dari hal-hal ini, kebahagiaan di masa lalu itu lebih simpel dan banyak pilihannya, khususnya untuk seorang yang hidup di desa. Dulu itu yang namanya mainan untuk anak kecil banyak sekali (saya akan menyinggung ini pada kesempatan lain). Untuk kaum muda dan dewasa, banyak sekali pilihan tontonan dan hiburan, dimulai dari ludruk, tayub, jaranan, pagelaran pencak, wayang, dan pasar malam. Kalau sekarang yang sering ada hanyalah pasar malam disertai konser dangdut dengan biduan-biduan yang bisa joget ngebor.

Sepinya Syahdu

Sejenak rumah dan lingkungan terasa sepi. Bapak telah berangkat ke masjid untuk shalat tarawih, bareng dengan tetangga-tetangga. Tak ada siapa-siapa di sekitar. Yang terdengar kini adalah suara getaran pita dari langit; suara pita layang-layang malam dan suara alam (suara jangkrik, serangga malam, dll). Suasana seperti ini sudah biasa di desa, namun sayang saya tak bisa keluar untuk menikmatinya karena kini sedang sakit. Namun, meskipun sakit, rasa aman dan tentram sangat mendukung kesembuhan (kalau di rumah). Kalau di kost, berbeda lagi ceritanya. 
Sekarang biarkan si pelamun ini menikmati sajak-sajak dan puisi orang-orang, diiringi nyanyian syahdu dari gelap dan keheningan malam.

Kini biarkan alam menyapa,
biar tanah kelahiran menimang-nimang
sang pengelana
bagai bayi dalam pelukan ibunda
jauh terpencil
dari hiruk pikuk dunia

(Sapaan Ibunda by Unknown)

Senin, 23 Juni 2014

Kutho Cilik Kang Kawentar

Beberapa waktu yang lalu saya mengetik status di facebook "Tanpa mal mewah, lampu-lampu sorot, serta tanpa kemacetan; biar Blitar tetap jadi Blitar. Ini sudah (lebih dari) cukup nyaman dan tentram." Tentu status ini bukan sekedar ungkapan dari perasaan sekilas saja, melainkan dari kekaguman yang telah ada sejak dahulu hingga kini. Kekaguman akan kecilnya kota Blitar dan keramahan lokalnya, serta kehidupan simple masyarakatnya menjadi satu harapan besar untuk masa depan saya. 
Dua jempol untuk mantan walikota bpk. Djarot Syaiful Hidayat, yang telah berani tampil beda di tengah jaman modern ini dengan melarang pendirian mall mewah bertingkat dan gedung-gedung pencakar langit. Dengan adanya aturan yang sedemikian, perekonomian di kota kecil ini justru meningkat karena para pedagang-pedagang 'cilik' mendapat tempat dan jadi pilihan masyarakat. Dengan tidak adanya fasilitas-fasilitas modern layaknya di kota-kota sekitar, kehidupan harian di Blitar tampak simple dan sederhana, namun begitu enak dilihat. Memang, tanpa adanya mal seperti di Tulungagung, Kediri, dan Malang, kota ini tampak ketinggalan. Namun, menurut saya justru ini sepatutnya jadi kebanggaan. Bukankah baik jika ada satu saja; saya ulangi "satu saja" kota kecil yang tidak ada mal-nya. Bukankah baik kita memiliki setidaknya satu kota saja di jaman modern ini yang ramah untuk orang-orang kecil, seperti yang tertulis di artikel ini (klik disini jika perlu melihat). Jika di Kediri sudah ada Ketos, dan di Malang ada Matos, serta di Tulungagung ada Golden, maka baiklah Blitar yang diapit tiga kota diatas tersebut jadi tempat persinggahan yang ramah dan murah. Let Blitar be Kawentar.
-- -- -- -- -- -- - 
Saya pribadi nyaman tinggal di Blitar dengan keadaan seperti ini, dan senang jika suatu hari sang jodoh mau diajak tinggal disini, haha (Tapi sopo? Kosong). Namun, yang terpenting adalah semoga Blitar tetap jadi seperti ini, meski pemimpinnya berganti-ganti. Semoga Blitar tetap jadi kota yang 'ramah' pada orang kecil.

Senin, 16 Juni 2014

Happy Father's Day!

Hari ini hari ayah. Berbahagialah para ayah, dimanapun mereka berada!

Saya sangat respect pada sosok ayah. Siapapun, entah kenal atau tidak, jika bertemu, akan selalu mendapat hormat saya dari dalam hati. Ada banyak hal yang menyebabkan saya seperti ini, mulai dari terinspirasi sifat kepahlawanan ayah saya sendiri, kisah-kisah ayah dari beberapa kawan yang menceritakannya, serta kepahlawanan ayah dalam kisah-kisah nyata kehidupan dan cerita-cerita di dalam film. Mereka semua sangat menginspirasi. Saya sangat menghormati mereka.

Untuk hari ini, semoga para bapak mendapat berkah serta rahmat keteguhan supaya semakin mantap dalam tugas hidupnya!

Kamis, 12 Juni 2014

Mencari Kos

Mencari kos rupanya tak semudah yang dibayangkan. Dua hari yang lalu saya seharian penuh keliling-keliling untuk mencari kos yang cocok. Satu hal yang menyebabkan kesulitan itu ialah sistem pembayaran yang sudah tidak perbulan lagi. Jadi, di Malang kini hampir semua kos sistem bayarnya tahunan seperti kontrakan sehingga masalah harga jadi pertimbangan penting. Saya dan beberapa kawan yang membantu mencari kos (kami berlima) menghabiskan satu hari penuh keliling-keliling area-area kost. Di malam hari, saya ditemani seorang kawan berkeliling lagi, setelah sebelumnya mendapat beberapa info dari internet. Demikianlah dua hari yang melelahkan berlangsung. Hasilnya, kami menemukan satu kos-kosan yang menyediakan dua kamar kosong, pas untuk kami berdua. Hal baiknya adalah; pertama; bahwa kos-kosan itu masih menerapkan sistem bayar perbulan; kedua, bapak kosnya tidak muluk-muluk dan ramah; ketiga, tempatnya tak begitu jauh dari kampus. Sayangnya; dari dua kamar itu hanya ada satu yang nyaman.
Saya sudah yakin dan segera mengamankan kesempatan itu kemarin, sementara kawan saya malam ini hendak bertemu dengan bapak kos untuk mengamankan calon kamarnya; semoga kawan saya ini berhasil pula mengamankan kesempatan itu.
Demikianlah kami, dengan bantuan beberapa kawan menemukan kos. Kini, setelah hari-hari yang melelahkan berlalu, saya berencana untuk melakukan sesuatu. Nah, selagi bersantai ada baiknya melakukan sesuatu yang berguna untuk kelanjutan hidup.

Jumat, 06 Juni 2014

Mercy

Saya turut bersedih akan keluarga paman saya. Saya tak bisa hanya diam setelah secara langsung menjadi saksi pertikaian mereka. Malam ini, saya kebetulan berada di rumah bapak dan menceritakan apa yang terjadi pada siang hari tadi. Syukurlah bapak adalah orang yang sangat tepat untuk mendengar berita ini. Bapak dan bibi memiliki kedekatan seperti kakak dan adik. My father is the most trusted person for her! Bapak adalah satu-satunya sanak yang bisa diandalkan bibi. 
Mendengar cerita ini, ia berencana mengunjungi bibi esok hari. Saya yang tak punya hak untuk bicara dan membantu paman dan keluarganya, kini sedikit bangga karena bisa secara tidak langsung membantu mereka melalui bapak. 
Kini saya berharap agar esok hari lembaran baru terbuka untuk paman dan keluarga. Semoga solusi baru yang jernih dapat mengubah suasana yang tegang menjadi damai. 

Saya sengaja menceritakan masalah ini karena ingin berbagi suatu hal penting bahwa rumah tangga itu selalu identik dengan tantangan-tantangan yang bisa memecah-belah. Itu adalah suatu tahap dimana iman, kesetiaan, dan kedewasaan benar-benar diuji. Orang-orang bertengkar; mereka mungkin sudah tidak ingat lagi arti dan makna sebenarnya dari perkawinan itu sendiri, pengorbanan satu sama lain, dan juga arti dari komitmen mereka di masa-masa penuh cinta kasih.

Terjebak

Hari ini saya terjebak dalam pertengkaran rumah tangga. Ketika hendak istirahat siang, nenek menghampiri saya dan meminta untuk diantar ke rumah paman, karena ia menelepon nenek dan memintanya untuk datang sebentar ke rumahnya. Saya segera ganti pakaian dan berangkat. Tak butuh waktu lama untuk sampai di lokasi yang jaraknya 4 kilometer. Sesampainya disana nenek terkejut karena suasana rumah sepi. Pintu ditutup dan tak ada suara samasekali. Selang beberapa saat, paman membuka pintu dan mempersilahkan kami langsung ke ruangan belakang, melewati ruang televisi dimania bibi terbaring tidur. Setelah itu paman menceritakan langsung intinya bahwa ia dan bibi akhir-akhir ini bertengkar terus karena masalah anak yang nakal dan tidak bisa diatur. Ia membeberkan bahwa ia menyerah karena bibi terus menyalahkannya dan selalu mau menang sendiri dalam percekcokan.
Nenek mencoba menengahi; ia membangunkan bibi dan kemudian disinilah awal pertentangan yang menakutkan. Bibi berteriak-teriak sambil menangis seperti orang kerasukan pada film-film horror eksorsis. Ia menyalahkan paman dan memaki-makinya; katanya sebagai seorang suami paman samasekali tak pernah support di saat-saat bibi pusing memikirkan ulah dan tingkah anak. Paman bahkan, katanya, hanya memperkeruh suasana rumah tangga. Dari sini, bibi terus berteriak-teriak dan memaki-maki, sedangkan paman.
Saya terjebak di ruang belakang rumah. Setiap kali bibi berteriak, saya semakin merasa teriris. Tak ada yang bisa saya lakukan. Pintu sengaja ditutup agar orang diluar tidak tahu. Jadi selama kurang lebih satu setengah jam, saya berdebar-debar, dan terus menanti keduanya menurunkan ketegangan. Setelah beberapa saat yang terasa makin mendebarkan, nenek memutuskan untuk pulang, sementara itu paman sempat berusaha menahan kami, sebelum akhirnya merelakan kami pergi.

Indah

Ibadah

IMG here
Mungkin jika seseorang hidupnya sedang berantakan dan tidak tenang adalah akibat dari melupakan waktu untuk lebih dekat dengan Sang Pencipta. Mungkin jika seseorang selalu merasa kurang beruntung dalam hidup ini, atau merasa buntu setiap hari, itu karena kurang beribadah, kurang shalat. Ibadah adalah salah satu inti dari hidup ini. Mungkin kebanyakan orang juga berpikir demikian. Kedekatan dengan Sang Pencipta mendatangkan banyak berkah dalam hidup. Semoga si pengembara dan siapa saja yang saat ini jauh bisa kembali dekat dengan Dia yang memberi kehidupan.
Amin.

Kamis, 05 Juni 2014

Dibalik Senyum

Jangan tersenyum padaku
Jangan berlaku baik
Jangan lakukan itu
di depanku, sedang
dibelakang kau berbisik
cerca, cela, kekecewaan
Jangan tersenyum padaku
Jangan lakukan itu,
percuma, semua palsu!

Pertama-tama, biarkan saya menegaskan dulu bahwa ini tak ada kaitannya dengan kesulitan tentang kos seperti yang tertulis pada postingan-postingan sebelumnya. Ini tentang hal lain.

Saya tak dapat mengatakan banyak hal tentang kekecewaan saya pada saat ini. Sebuah pengkhianatan, kalau saya boleh menyebutnya. Orang-orang berlaku baik pada keluarga saya saat saya di rumah. Mereka ramah sekali, menyapa dengan senyum dan berbicara dengan canda. Namun, ketika saya tidak ada, mereka mengatakan banyak celaan dan omong kosong tak berguna pada ayah. Itu semua bertujuan agar ayah tak mempedulikan saya dan adik lagi karena sudah tidak bersamanya.
"Untuk apa bejuang keras demi membiayai sekolah anak-anakmu. Ketimbang sekolah dan kuliah, seharusnya mereka bekerja" demikian kata orang. Ayah sendiri menceritakan ini pada ibu. Ibu menceritakannya pada saya. 
Tanggapan pribadi tentang komentar mereka?
Kalau ayah berpikir mereka omong kosong. Sayapun demikian. Namun yang sangat saya sayangkan adalah kepalsuan dari kebaikan-kebaikan mereka. Di depan, mereka memuji-muji, namun di belakang mereka melempari keluarga saya dengan cela agar runtuh.
Saya tidak membenci mereka dan yang terpenting bagi saya adalah kebangkitan keluarga itu sendiri. Tak peduli kata orang; hanya pada kebahagiaan pribadi dan orang-orang yang berarti.
Tuhan memberkati. Amin.

Beban

Akhirnya semua orang mengatakan titik kepada saya tentang kos. Titik, demikian kata mereka. Mereka bilang saya anak yang tidak punya kasihan pada orangtua. Mereka juga berkata saya malas dan hanya menyusahkan. Budhe saya mengisyaratkan saya untuk tinggal di rumahnya di Batu, agar tidak membebani orangtua lagi.
Ya, orangtua saya memang tidak berkecukupan. Saya sendiri sebenarnya sudah mempertimbangkan dengan baik semuanya. Hanya saja, mereka tidak percaya pada saya. Mereka takut kalau saya ngekos, disamping akan menyusahkan orangtua, juga akan menjadikan diri saya mudah terseret pengaruh-pengaruh. Oh please! Orang-orang ini memang tidak akan pernah memercayai saya; dari dulu! Saya masih ingat contohnya, ketika mendaftar SNMPTN untuk masuk perguruan tinggi dulu, mereka berpikir saya hanya akan menemui kegagalan (mereka sendiri mengatakannya), namun pada akhirnya saya lolos.
Bagaimana kelanjutannya, saya tidak tahu. Hanya pilu dan bimbang menyelubungi pikiran. Saya kini jadi kasihan pada ayah. "Memang betul saya hanya membebani," kata-kata inilah yang kini menghancurkan hati saya.  
Namun tentu saya tidak akan diam dan tidak berusaha. Ini adalah tantangan dan akan sangat membanggakan jika saya menemui solusi brilian.  Well, a tough struggle strats here.

Sulitnya

Keinginan untuk ngekost rupanya masih saja menemui halangan. Ibu saya kemarin menelepon dan menyarankan saya untuk tinggal di sang timur jalan bandung, karena setelah bilang ke biarawati pemimpin bahwa saya sudah keluar, ia disarankan untuk membujuk saya supaya tinggal di tempat itu. 
Saya tak menjawab dengan banyak kata. Saya hanya geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, saya sudah keluar dari tempat biara dan kini diminta untuk tinggal di biara lainnya. Biara? Susteran? 
Please!
Saya tak akan menuruti saran biarawati itu.
Entah mengapa, untuk hidup normal dan bebas saja sulitnya minta ampun. Namun saya tetap maju, meskipun orangtua tidak mendukung samasekali.
Hmm. Saya benar-benar labil saat-saat ini. Mungkin ini saat yang tepat untuk segera melakukan hal-hal berguna untuk menghilangkan segala penat dan beban pikiran.

Gl Is Over

Selamat tinggal GL Max, motor tua yang dulunya saya idam-idamkan, namun sangat mengecewakan ketika saya memilikimu! 

Ada banyak hal buruk yang menimpa saya ketika bersamanya. Minggu lalu, dalam tujuh hari saja saya harus membawanya ke bengkel dua kali. Piss off! Kecelakaan pertama saya dengan kendaraan bermotor adalah dengan si GL ini pula. Saya jadi jarang keluar semester ini karena takut motor mogok. Bersama motor itu, saya sering tertimpa hal buruk; sangat menyebalkan.
Disamping pengalaman buruk, ada beberapa pengalaman baik, misalnya mengajari Stanley mengendarai motor berkopling, pergi ke pantai bersama kawan-kawan kuliah, dipakai keliling-keliling kota Malang di malam hari, mengantar beberapa gadis (hehehe), dan memenangkan beberapa balapan. Hoho tapi yang terakhir tidak sungguhan. Bukan balapan di lintasan melainkan balapan di jalan raya biasa dengan pengendara lain yang menantang. Ngomong-ngomong kalau mengingat masa itu saya ngeri. Kini saya tidak berani lagi berkendara dengan kecepatan tinggi semenjak kecelakaan yang lalu.

Masa gl max telah beralu, semoga ini jadi satu indikasi hidup saya perlahan berubah kearah yang lebih baik dan layak.

Rabu, 04 Juni 2014

Kepindahan

Hari ini hari terakhir saya tinggal di tempat ini. Saya keluar untuk menjalani hidup baru dengan pengalaman-pengalaman baru. Dua tahun bertahan di tempat sepi dan terpencil rupanya telah menghancurkan hati saya, meskipun kerapkali dalam keheningan saya mendapatkan kedamaian. Bukan sepinya, melainkan keterpencilannya dari peradaban. Inilah yang meremukkan saya. Pun demikian, saya bertahan terus karena orangtua. 
Maka akhirnya saya sedikit memberontak. Dan ini tepat sekali. Situasi dan kondisi di komplek ini sedang dalam masalah besar. Karyawan-karyawan keluar satu persatu karena ketidakcocokan dengan sikap pemimpin baru yang terlalu kaku dan otoriter. Saya sendiri tidak suka karena ia terlalu formal. Saya tidak suka melakukan hal-hal tidak penting yang hanya untuk sekedar formalitas. Menghormatinya selalu dengan tutur kata baik dan halus dan membungkuk dengan cara tertentu, serta laporan setiapkali pulang kuliah; oh no! Itu mimpi buruk. Saya tidak melakukannya! Samasekali.
Karena hal-hal tersebut, orangtua saya setuju saya pindah. 
Maka setelah berpikir panjang akhrinya saya putuskan untuk pamit keluar. Mungkin setelah ini saya akan ngekost. Dengan hidup di kost, saya akan lebih dekat dengan gereja, dekat dengan teman-teman, dan dekat dengan peradaban.

What Now?

Bunga yang wangi semerbak berwarna putih, casablanca, telah dipetik. Bukan si pengembara yang selalu meliriknya, melainkan insan lain yang punya kebiasaan sangat rutin setiap harinya mendekatinya. Jadi, selanjutnya apa untuk si pengembara?
Rupanya ia telah terlalu lelah dengan kekalahan. Jiwanya terlalu banyak kehampaan dan gelap gulita. Ia sendiri sudah terlalu banyak bersedih karena ditinggalkan harapan. 
Seseorang menanyainya,
"Bagaimana perasaanmu? Melihat dirimu sendiri beberapa kali seperti itu?"
Pengembara menjawab,
"Entahlah. Saya lelah dengan hidup saya yang gelap. Saya hendak memulai yang baru, dengan diri yang baru, serta pembawaan hati yang baru pula."
"Mengapa berkata demikian?" Tanya orang itu lagi.
"Kau tahu, saya perlu lebih banyak aktualisasi diri. Mengapa saya harus mengharapkan sesuatu dengan mengorbankan perasaan? Mimpi-mimpi saya disana, jauh di depan. Tanggungjawab saya disini, di bahu kanan dan kiri. Semakin jauh saya melangkah, semakin besar tanggungan ini. Saya seharusnya jadi pria berhati singa, seperti Richard, atau berhati keras sekeras batu dan sedingin es. Saya berharap dan berusaha menjadi demikian karena memang hendaknya demikianlah hati seorang pengelana; hati seorang pria."
 "Saya mengerti," kata orang itu. "Kita seharusnya mengejar mimpi-mimpi kita dan fokus pada hal-hal itu. Mimpimu sangat simple, bukan? Kau mungkin hanya perlu sedikit fokus, maka akan kau raih semuanya," sambungnya.
"Benar. Terimakasih, sahabat!" jawab si pengembara.