Minggu, 29 September 2013

Ambrosius Dean Perwira

Nama yang bagus. Kawan yang baik. Ialah Dean, salah satu teman dekatku kala SMA. Ia datang dari pulau yang sangat pedas, Lombok, untuk menempa pendidikan di Seminari Santo Vincentius a Paulo, Garum(almamater tercintaku). Di awal tahun ajaran baru, ia adalah sosok yang paling cool dan penuh talenta. Bermain gitar klasik? Dia jagonya. Bakat luar biasa itu diturunkan dari ayahnya, yang sangat mencintai musik klasik.
Aku tak begitu dekat dengannya di tahun itu. Baru di awal-awal kelas dua, entah bagaimana aku sering berbagi kesan dengannya. Para siswa sekolahku biasa menyebutnya sharing. Sharing merupakan salah satu aspek penting dalam pembinaan di sekolah dan asrama kala itu. Para pembimbing dan pengajar justru menganjurkan para siswanya agar punya sahabat dekat, atau teman sharing, supaya tidak menanggung beban-beban masalah sendirian dan supaya kerasan hidup di asrama. Nahhh, pada saat itu ia sudah punya banyak keluh-kesah dan angan yang ingin sekali ia bagikan kepada seseorang. Aku adalah salah satu orang yang tepat pada saat itu. Kusebut salah satu karena pada saat itu sahabatku Stanlee juga merupakan orang yang tepat untuk Dean.
Jadi mulai awal-awal semester baru di kelas dua, pada saat jam bebas, ia sering mengajakku jalan keluar sambil berbagi-bagi cerita. Ia bercerita tentang keinginannya untuk keluar dari sekolah kami itu dan melanjutkan perjuangan untuk meraih mimpinya di tempat lain. Ia juga kadang mengeluhkan otoritas pemimpin asrama kami, yang membuat hidup jadi tidak bebas dan terikat ketat. Ohya, ngomong-ngomong ini adalah rahasia besar kala itu. Hanya aku, Stanlee, dan pembimbing pribadinya Dean yang tahu soal ini. Sungguh, dipercayainya adalah suatu kehormatan besar bagiku. Ia mengungkapkan satu hal yang sangat privasi; bahwa ia 'akan' keluar di semester dua. Sebelum keluar, ia ingin menyabet juara kelas terlebih dahulu di semester itu. Hmm, sangar!
Jam bebas yang hanya tiga jam terasa begitu cepat ketika kita sharing. Sebelum kembali ke asrama, biasanya aku mengantarnya ke wartel untuk menelepon keluarganya. Kemudian, setelah itu adalah momen favorit: makan bakso! Hmmm, bakso (aku lupa namanya), sungguh-sungguh indah; menyimpan banyak kenangan indah bersama kawanku ini.
Waktu Yang Dinantikan
Tibalah itu, saat perpisahan yang menyedihkan. Sebelum itu, ada satu kenangan indah; yaitu kala aku dan teman-teman seangkatan mendaki puncak Panderman. Waktu itu sudah malam. Semua orang tampak sudah terlelap di tenda masing-masing, kecuali tiga insan yang tengah bercakap-cakap di atas puncak yang dingin tersebut. Sambil menikmati kopi panas yang segera membeku, aku, Stanlee, dan Dean memandang jauh kebawah, ke pemandangan dunia malam kota Batu yang terlihat kecil bagaikan lampu-lampu pohon natal. Kami bicara banyak hal, mulai dari ke-otoriter-an para petinggi asrama seminari, perpisahan yang tidak lama lagi, mimpi-mimpi, dan kecintaan akan kota yang mempesona ini. Aku ingat, Dean mengungkapkan bahwa ia suatu hari ingin punya rumah disini, di kota ini. Hmmm...menarik! Kami terus berbagi cerita hingga mata memaksa kami untuk istirahat dan kembali ke tenda untuk persiapan turun besok. Hmm, kenangan yang amat berkesan, kawan!
Ini dia Dean yang awesome dan
cool. Foto diambil dari akun
Facebook-nya
Setelah hal-hal indah berlalu, tibalah itu, saat ia berpamitan kepada semua penghuni seminari di depan altar kapel setelah ibadah pagi. Itu adalah saat-saat yang tak terjelaskan. Tak lama setelah pagi itu, saat mentari mulai membumbung keatas, orangtuanya datang dengan mobil, pertanda sudah siap mengangkut semua barang-barang Dean. Setelah itu... kami tak bertemu lagi selain di dunia maya sampai saat ini. Oh iya, Dean ini memang Dean. Keren! Seperti yang telah ia inginkan dan ungkapkan; ia berhasil menyabet juara 1 di kelas IPS. By the way, juara dua saat itu aku, hehehe.
Hmm..kawan. Kau masih tetap cool hingga sekarang, lebih bahkan. Kawan, aku tidak akan lupa akan banyak hal indah yang telah mengisi hidupku yang indah ini. Aku sangat bangga dan senang pernah kau beri kepercayaan itu. Aku sangat beruntung bisa mengenal orang sepertimu, yang membuat pengejaranku akan mimpi-mimpi tak pernah surut. Dari kediamanku disini, aku berdoa untuk perjalanan hidupmu! Semoga mimpi-mimpimu yang indah dapat engkau rengkuh dengan kemenangan bahagia. Semoga kelak engkau punya rumah di Malang, hehehe.
Oke, sekian, kawan. Carpe Diem!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar