Senin, 22 September 2014

Puji Tuhan

Syukurlah pada malam hari ini saya bebas dan lepas tanpa perlu khawatir akan tugas. Suasana yang amat langka ini saya manfaatkan dengan baik. Malam ini saya mencari beberapa bacaan di internet dan setelah itu akan melakukan beberapa refreshment, bermain Sleeping Dog mungkin. Begitu indahnya...hidup...tanpa suatu tanggungjawab yang formal.

Rabu, 17 September 2014

Orang Bodoh dan Padang Rumput Saya

Tidur dalam mimpi yang indah. Saya berada di padang rumput hijau nan tenang. Hanya kicau burung, hembusan angin, dan suara percikan air sungai yang terdengar. Di sungai itu saya menceburkan diri dan merasakan air segar membasuh kaki, sambil memandang ikan-ikan dengan beragam warna dan menengadah ke langit biru yang luas dan dihiasi awan putih berarak dan siluet-siluet hitam yang berterbangan. Sejauh mata memandang, padang itu tampak hijau seluruhnya, tak berujung. Tak ada manusia lain, hanya saya dan kehidupan alam yang harmonis. Mimpi yang indah. Keheningan sejati! Namun, sayang sekali hal indah ini hanyalah sebuah permulaan dari mimpi buruk. Selang beberapa saat setelah suasana sepi itu, terdengar suara ledakan besar dari jauh diiringi oleh api yang menyulut keluar dari horison. Dari jauh tampak siluet kecil burung-burung terbang menjauh, menuju arah saya seolah memberitahu bahwa tempat itu sudah tak aman lagi. Saya heran dan mencoba mencermati kegaduhan tersebut, karena terjadi ledakan-ledakan lainnya yang semakin lama semakin dekat dan terdengar lebih keras. Tak ada satupun hal yang terlihat sebagai pelaku kegaduhan itu, sementara binatang-binatang sudah pergi menjauh meninggalkan padang rumput. Tak ada siapapun, sedangkan suara itu semakin terasa dekat. 
Saya terbangun dan sadar bahwa saya tidak akan pernah menemukan penghasil kegaduhan itu di padang rumput tersebut karena pelakunya tidak ada di dunia mimpi, melainkan dunia nyata, tepatnya di ruang kost sebelah. Diiringi suara-suara tawa yang gaduh dan musik dangdut, metal serta melayu yang mengumpati sang keheningan malam, seseorang terdengar sedang memukul-mukul pintu. Suara itu keras sekali dan sebegitu gaduhnya hingga merusak surga dalam mimpi itu. Orang itu terus memukul pintu dengan palu, tak tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah tindakan orang tak bertoleransi dan tak berperasaan. Lama sekali saya menunggu kapan "pintu yang rusak" itu selesai dibenarkan. Hingga pada akhirnya, "orang bodoh" itu melemparkan palu tepat di bawah tangga yang letaknya di depan kamar saya. "Duakkkk," suara gaduh terakhir dari aktivitas itu meledak tepat di depan saya. 
Tidak ada niat untuk membentak atau memberi peringatan karena kaki saya sedang sakit saat itu, ditambah suara masih serak karena batukSambil mengelus dada, saya mencoba melanjutkan tidur tetapi tidak bisa. Setelah hantaman-hantaman berisik itu, suasana masih belum hening karena mereka terus bercakap dan pemutar musik masih keras berteriak-teriak. 
Akhirnya yang saya lakukan ialah membagi pengalaman ini, sambil menunggu kapan rasa ngantuk datang membantu untuk tidur kembali. Saya juga mencoba melindungi telinga saya dari polusi suara itu dengan memutar musik gregorian dan klasik.
Sejauh ini, bisa dibilang belum ada harmoni dalam kehidupan saya. Dulu ketika masih belum ngekost, saya hidup di tempat yang tenang sekali, namun jauh dari peradaban, suram, dan jauh dari teman-teman. Sekarang saya dekat dengan peradaban dan dekat dengan para sahabat. Sering sekali mereka mengunjungi saya dan ini adalah sesuatu yang sangat baik. Namun, ternyata masih ada satu hal yang janggal disini, yaitu kegaduhan yang tak tahu waktu dan tempat.
Gusar dan jengkel itu pasti. Hidup di tengah-tengah orang bodoh dan bebal, mungkin butuh kecerdikan sendiri untuk mengatasinya, seperti perkataan ini, "Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba di tengah-tengah serigala. Maka, hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati (Mat 10:16)." Mungkin saya hanya perlu sedikit kreatif mendekorasi ruang saya agar anti suara luar atau melakukan cara lain yang sejenis.
Diatas semua itu, saya tidak amat sangat menyesal bahwa harmoni antara keheningan dan keceriaan belum bisa saya wujudkan. Ini semua adalah bagian dari jalan menuju kehidupan gemilang dan harmonis.

Rabu, 17 September 2014 00.50 WIB
Dalam kegaduhan yang memecah Tengah Malam

Minggu, 14 September 2014

Pikiran Tenang

Tiga hari yang mengesankan di rumah telah berlalu. Saya kini berada di kost lagi. Ada sebuah kabar gembira. Hari esok mungkin akan lebih ringan karena absennya seorang dosen galak dan cerewet yang suka memaki mahasiswa-mahasiswinya. Namun diatas semua ini saya bahagia karena telah berkesempatan pulang ke rumah dan merasakan tenangnya suasana hidup. 
Tiga hari saya dapat tidur dengan suasana hening, berdoa dalam silentium, dan melakukan aktivitas-aktivitas yang menyegarkan pikiran, tanpa sekalipun teringat akan tugas. Hal ini terasa seperti pembaharuan hidup.
Sore ini saya kembali ke Malang. Ketika mampir di toko alat tulis depan sekolah saya dulu untuk membeli beberapa kertas, saya berjumpa Gabriel Rio Emar, seorang adik kelas dari Kupang yang kini sudah menjadi misionaris dan diutus. Kami mengobrol sebentar, karena ia kelihatan agak terburu-buru. Saya menitipkan salam kepada Alfredo dan Evam, dua adik kelas yang sudah sejak dulu saya beri respect. Syukurlah mereka berdua melanjutkan pembinaan ke jenjang atas dan meneruskan panggilan imamat.
Perjumpaan kecil itu tadi membawa semangat dan rasa bangga di hati, apalagi ketika melihat gedung sekolah dari jauh. Masih seperti dulu. Bangunan tua bergaya arsitektur belanda. Megah. Di dalamnya telah tersimpan kenangan-kenangan di masa pembinaan. Di balik gedung berhiaskan sinar remang-remang matahari senja tersimpan jejak orang-orang hebat dan para sahabat.
Dalam pesona yang sedemikian indah, saya hampir lupa harus kembali ke Malang. Rasanya seperti masih menjadi bagian dari komunitas orang-orang terpanggil itu. Dengan suasana hati yang penuh kegembiraan, saya beranjak pergi. Rio melambaikan tangan selagi berjalan memasuki gerbang Vincentius. Saya membalasnya, dan melaju dengan semangat meninggalkan sore yang indah menuju kota Malang yang siap menanti saya dengan tanggungjawab-tanggungjawab dan tugas.

Jumat, 05 September 2014

Kurangnya Waktu

Semenjak pindah ke kost dan kuliah di semester lima, saya kekurangan waktu untuk menulis refleksi dan posting blog. Disamping koneksi internet yang tidak stabil seperti di tempat semula, jadwal kuliah yang padat dan banyaknya tugas memisahkan saya dari waktu luang yang berharga. 
Rutinitas dan kondisi tidak memberi ruang untuk keheningan. Tempat yang sekarang ramai, karena dekat sekali dengan jalan raya. Hal ini seringkali membuat saya selalu ingin pulang ke kampung halaman untuk mendapatkan keheningan sejati, namun untuk mewujudkan rencana pulang itupun saya harus menunda dua kali dikarenakan tugas dan jadwal kuliah. Bagaimanapun, menunda rindu tidak ada salahnya. Rindu yang tertunda justru menjanjikan kebahagiaan lebih pada waktunya.